Resensi Novel: Dua Masa Di Mata Fe

Judul Buku: Dua Masa di Mata Fe
Penulis : Dyah Prameswarie
Penerbit : Moka Media -  2014
Jumlah Halaman : 219 + iv
ISBN : 979-7950872-8

Novel Dua Masa di Mata Fe dibuka dengan latar belakang konflik kerusuhan  Mei 1998 yang  mencekam dan mengincar etnis Tionghoa. Bukan saja  untuk dicuri dan dijarah tapi juga dihabisi seperti  yang terjadi dengan keluarga Fe.

Kalau  saja Raish  tidak dipaksa  (tepatnya  diancam)  Jenggo terlibat  dalam  aksi pencurian yang diingkari Jenggo   berujung  pejarahan,  pembantaian  keluarga dan diakhiri  pembakaran rumah korban,  mungkin Raish tidak akan pernah  mengalami semacam dilema, jatuh cinta pada  Fe, gadis Tionghoa, korban yang   juga ditolongnya dengan  awal terpaksa.


Terpaksa?  Ya,  terpaksa  menolong  Fe  karena tidak sengaja menemukannya  yang bersembunyi di dalam bagasi  sedan  Corola merah marun yang dilarikannya.  Fe  yang masih bingung  lama-lama  menemukan kesadarannya dan harus menghadapi kenyataan Mami, Papi dan Edric yang tewas,  meninggalkannya sebatang kara.  Sebenarnya  tidak sebatang kara juga, karena   Fe  masih  punya  Oma dan Opa di Surabaya yang alamatnya diberikan  Asen, Papinya Fe yang menyuruhnya  bersembunyi di dalam bagasi dan  harus mencari  alamat  yang diberikannya.  

Di sinilah  kupu-kupu  mungil  mulai  rajin menggelitiki  perut Fe  setiap kali  mendengar suara  Raish  yang sebenarnya tidak  merdu-merdu amat (kalau tidak  mau dibilang hancur),   perhatian kecil Raish  yang menyuruhnya makan dan minum atau  ritme halus jantung Raish saat  menggendong tubuh lemahnya. Semuanya terasa  indah dan baik-baik saja buat Fe. Gadis cantik Tionghoa itu  tidak  pernah menyadari jati diri Raish. Hati keduanya diam-diam nya sudah saling  bertaut, sementara Raish  berjuang mengumpulkan keberaniannya  untuk   berterus terang tentang rahasia  terbesarnya, justru malah orang lain yang membongkar sandiwara Raish. 

Apakah Fe jadi membenci Raish? Setelah  semua masa-masa  manis  yang dilalui hanya dalam hitungan  minggu. Justru karena Raish, Fe menemukan kembali harapan hidupnya dan menikmati sensasi jatuh cinta dengan orang asing yang menyelamatkannya. Setengah mati  juga Raish  membantah  perasaannya kepada  Fe  yang terkadang cemen dan  rapuh.

Awalnya  saya cukup senang dengan awal cerita  yang  langsung disodorin konflik yang tajam, padahal  saya  ga suka amat  novel  dengan latar cerita yang rada sadis. Tapi, penulis novel  berhasil meracik cerita  tanpa membuat  pembacanya  mual dan  muntah. Saya bergidik sekaligus bersyukur saat kejadian  itu,  saya berjarak sekitar 100 km lebih dari Jakarta. Ikut heboh-hebohan  kabur dari  kelas kuliah dan  beberapa kali ikut long march  dari kampus ke Gedung Sate  tanpa terintimidasi  suasana  horor  belasan tahun silam.

Sempat dibuat kecewa,  karena setelah membawa Fe ke Cimahi, rumah Ambunya Raish, alur cerita  terasa pelan, eh bukan pelan sebenarnya,  bisa dibilang minim konflik. Ditambah lagi dengan tingkah Fe  yang lebih memilih diam, bikin saya ikutan gemes seperti Raish, nungguin 'aksi diam' Fe.  Sampai kemudian saya menemukan lagi  ketegangan saat mereka berdua  pergi  menuju Surabaya  mencari alamat Opa dan Omanya Fe.

Selain ikutan tegang, saya  harus berkali-kali menggosok punggung tangan,  mengusir lelehan air mata (sebel, kenapa saya jadi cemen kayak Fe, sih?), gemes sama Pak Djun yang culas, atau ikut senang  saat tahu perjalanan  bersama Raish jadi lebih lama dari seharusnya. Latar lagu Always-nya Bon Jovi, Trully Madly Deeply-nya Savage Garden plus komik Candy-Candy bikin saya pengen balik lagi ke tahun itu, jadi lebih  muda dari Fe  (idih sok imut banget, ya?).

Ada beberapa  kekurangan  dari novel ini.  Yang paling saya inget ada beberapa typo, lupa jumlah pasnya berapa tapi ga sampai 2 digit, masih bisa ditolerir sih (sambil baca lagi resensi saya, jangan-jangan ada typonya juga ini :D). Kalau cetak  ulang  mudah-mudahan typo ini sudah enggak ada.

Lalu juga  masih ada yang mengganjal ketika Raish mencocokkan  nomor rumah Ahok (opanya Fe) dengan secarik kertas  yang dipegangnya.  Padahal dalam cerita sebelumnya diceritakan,  Ahok sudah pindah rumah, tapi masih ditulis alamat Ahok cocok dengan tulisan tangannya Asen, papanya Fe. Mungkin typo  juga, ya. Lalu  saat sandiwara  Raish terbongkar,  reaksi opa dan oma kurang  emosional menurut saya, terlepas dari masa lalu Asen  yang  tidak mendapat restu  saat menikahi Padma, maminya Fe.  Mungkin ditambah 2-3 bab lagi alurnya  bakal lebih seru. Tapi itu dia seninya  nulis novel, bikin pembacanya geregetan.  Karena enggak semua pembaca punya ekspektasi yang sama, kan? 

Secara total, Dydie  berhasil  mengaduk-mengaduk perasaan saya termasuk  beberapa quote  yang manis. Yang paling saya suka adalah ucapan Raish yang membesarkan Fe.

"Fe aku memang tidak mampu membelikanmu sayap baru saat sayapmu patah. Tapi aku akan berusaha memperbaikinya, Fe sampai kamu bisa terbang lagi. Tapi sampai saat itu datang, kamu harus belajar mengepakan sayapmu sendiri."

Menurut saya  yang pas jadi malaikat jatuh itu bukan Fe tapi Raish, deh ^_^.  Terus gimana dong Fe sama Raish akhirnya jadian dan bisa  menggunakan kompas hatinya enggak? Atau malah keduanya jadi patah hati seperti Unbreak My Heartnya Tony Braxton?  

Mau tahu banget?  Baca aja novelnya, ya. Kalau saya bocorin di sini  enggak asik. Ini juga udah kebanyakan cerita, ah.  Harga novelnya enggak sampai 50 ribu kok, plus cover dan pembatas bukunya yang apik. Cincailah.   Kalau diminta bintang, saya  kasih 3,5 dari  5. Aku tunggu novelmu yang lainnya ya, Dydie.

Post a Comment

5 Comments

  1. Replies
    1. Baca mba, eh atau ikutan aja give awaynya :D

      Delete
  2. Mbak Efi waktu 98 ikut demo? padahal masih Mahasiswa baru, eh kepo eh sok tahu :D Di Bandung waktu itu berarti nggak ada kerusuhhan ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jiaaaah, kepo nih yeeee :D kasih tau jangan, ya?

      Delete
  3. Waah jadi pingin deh bacanya, pingin ikut-ikutan ngerasain juga perasaan yg di aduk-aduk karena novel ini :)) hehehe

    ReplyDelete