Review Film The Greatest Showman

Dari beberapa chat dan obrolan di grup WA, akhirnya saya memutuskan untuk nonton film The Greatest Showman.  Sebenernya  saya tipe orang yang punya pikiran penilaian film itu subjektif.

Kata si ini seru atau bagus, belum tentu saya merasakan yang sama atau sebaliknya. Saat banyak yang bilang jelek atau ga asik saya malah menemukan sesuatu hal yang ... hmmm yeah it's not that bad.  Pokoknya nolin dulu ekspektasi biar ga kecewa. Kalau akhirnya saya mau nonton film tertentu bisa juga karena alasan prioritas waktu dan budget :).

Saya punya pengalaman dan referensi sedikit  untuk film-film musikal.  Paling terakhir nonton film musikal itu film Beauty and the Beast tahun 2017 kemarin.  Yang lainnya? PK dari India yang mana saya kuat buat menjabaninya.  Padahal sebelumnya saya males nonton film India, karena kebanyakan nyanyi dan joged-joged hahaha.   Padahal (lagi)  ini udah khasnya India kan, ya.

Oke, daripada semakin ngelantur ke mana-mana mari kembali ke film TGS ini.  Mengambil seting Amerika di tahun 1800an,  diceritakan  Barnum kecil (Ellis Rubin)  jatuh cinta pada Charity (Skylar Dunn). Saya suka scene dengan kegokilan mereka ketika menertawakan etika minum ala bangsawan. Sayangnya part cinta monyet mereka cuma nampil sebentar saja. But anyway,  lagu kedua yang muncul di awal-awal film berjudul A Million Dream cukup bikin saya kepincut.  Suka, deh. Tapi kemudaian saya mikir lagi,  ini kan film musikal.  Jadi mari kita tunggu sampai akhir film,  karena bakalan ada lagu-lagu lainnya yang mungkin lebih keren dari lagu ini.

Barnum dewasa (Hugh Jakcman) yang bernama lengkap Phineas Taylor Barnum lalu disingkat jadi PT Barnum  (bukan singkatan dari perusahaan terbatas walau di kemudian hari dia punya perusahaan sirkus gitu lho ya hahaha), nekad menikahi  Charity (Michelle Williams).  Meski kedua orangtua Charity ga setuju. Charity ini  tipikal wanita idaman. Anak yang cantik , baik, lahir dari keluarga kaya tapi mau dibawa susah menjalani masa depan yang ga jelas. Nrimo dan ga banyak ngeluh. Dalam dunia nyata sih saya pikir makan cinta aja malah bisa bikin makan hati.  Mau punya istri kayak Charity? Ya udah, jadi Barnum dulu

Barnum pun bersumpah akan membahagiakan Charity.  Sumpah yang membuatnya berpikir keras bagaimana caranya bisa memberikan kebahagiaan dengan limpahan materi untuk istri dan kedua anak-anaknya.  Jika Caroline mewarisi ambisi ayahnya untuk menjadi pesohor,  anak lainnya, Hellen mempunyai karakter yang sama seperti Charity. Cita-citanya sederhana cuma ingin menikahi Sinterklas.    

Ada orang-orang tertentu  yang memang baru menemukan passionnya lewat  cara yang tidak menyenangkan.  Ga tiba-tiba nemu chemistry dengan gampangnya. Begitu juga dengan Barnum.  Celah masa depannya yang cerah baru terbuka ketika ia dan teman-temannya diberhentikan dari tempatnya bekerja karena perusahaan mengalami kebangkrutan. Itu pun udah punya dua buntut. Padahal dia punya janji membahagiakan.Charity juga membuktikan sama mertuanya. Dia layak buat Charity dan bisa membahagiakannya.

Berbekal dengan akta kapal laut nun di Laut Cina Selatan sana,  Barnum nekad mengajukan pinjaman ke Bank.  Hmmm, ada yang masih ingat kan, prinsip 5C soal pinjaman ke bank?  Iya,  ini dia yang jadi jaminan (collateral) Barnum. Pengajuan pinjamannya diterima oleh bank.  By the way, saya yang awam ini penasaran gimana pihak bank segitunya percaya dengan jaminan ini. Kan kapalnya ada di Cina sana. Secara fisik emang masih layak untuk dijadikan jaminan?    Tapi filmnya bakal jadi panjang banget kalau part ini dibahas dan bakal melebar ke mana-mana. Anggap aja emang layak walau yaaa bisa aja ada kekhilafan dalam prosesnya hihihi...

Ide bisa datang dari mana saja dan siapa saja. Jangan pernah remehkan usulan siapapun termasuk seorang anak kecil. Dari kedua putrinya, Caroline dan Hellen akhirnya Barnum tahu bagaimana memutar pinjaman dari bank. Semula bisnis museumnya yang sepi, sontak menjadi ramai karena menghadirkan manusia-manusia aneh. Mereka yang bertubuh kerdil, tinggi bak raksasa, gemuk sekali, atau wanita aneh karena memiliki cambang yang lebat jadi bagian kesuksesan Barnum.  O, ya di abad ke-19 ini mereka bukan saja masih kental dengan isu rasisme tapi juga diskriminasi terhadap orang-orang aneh. Penerimaan diri dengan segala keanehan yang dimiliki membuat orang-orang yang direkrut Barnum seakan menemukan keluarga baru sekaligus menyisihkan minder yang selama ini akrab dengan keseharian. See? dibalik kekurangan sebenarnya ada potensi yang bisa digali. Tuhan mah ga akan ga adil kalau kita bisa melihat sisi baik dari sesuatu.
foto: http://www.digitalspy.com
Kelompok sirkus Barnum meraih sukses.  sampai kemudian hadir  Phillip Caryle (Zac Efron) seorang penulis naskah teater dan Jenny Lind (Rebbeca Ferguson). Kedua orang ini berperan besar mewarnai kehidupan Barnum dengan cara yang berbeda. Konflik kemudian muncul di mana Phillip jatuh cinta pada seorang pemain akrobat  bernama Anne Wheeler (Zendaya)  dan Barnum terjebak skandal cinta dengan Jenny Lind. Di sisi lain, Charity semakin terganggu dan tidak nyaman dengan hidup barunya sampai-sampai ada satu part yang bikin saya teringat lagu lawasnya Betharia Sonata yang sempat populer di tahun 80an akhir . Hahaha... ayo, ada yang inget ga? 

Saya sebel konflik yang terlibat di film ini kurang greget. Seakan-akan mereka yang tersakiti begitu mudahnya berkompromi. Saya malah tersentuh dengan kisah cintanya Phillip dan Anne dan sedihnya Caroline yang ternyata tidak mudah mengejar mimpinya jadi seorang balerina.  Saya juga kesel sama kelakuannya Jenny Lind, diva cantik dari Eropa sana. Tapi ga bisa menampik dengan kerennya dia dengan lagu Never Enough yang dinyanyikannya.

Lagu Never Enough ini buat saya juga jadi semacam sindiran.  Kadang ada situasi di mana limit cita-cita kita  akan terus bergeser ke atas.  Ga ada itu batas kepuasan yang maksimal terus stagnan di situ.  Standar dan batasannya bikin manusia jadi rakus dan lupa diri.  Begitu juga dengan Barnum.   Rasain deh, lu. Pengen banget saya ngatain gitu.  
foto: imdb.com
foto: https://www.cinemablend.com
Banyak yang bilang film ini bagus sampai kasih rate di atas 4 untuk skala 5, saya cuma mau kasih 3,5 aja.  Pilihan lagu-lagunya asik,  kostum klasiknya megah dan mewah, tapi di sisi lain film ini kebanyakan efek visualnya ditambah suara penyanyinya di filmini ga ori alias lip sync. Tapi terlepas dari kekurangannya (di mata saya) film  TGS ini selain menghibur juga punya banyak pesan moral bagaimana memelihara cinta dan kepercayaan dari lingkaran orang terdekat.  Kalau bank punya catatan khusus karakter dari nasabah di mana pengajuan kredit bisa ditolak,  jangan pernah menyia-nyiakan kepercayaan dan kesempatan untuk memperbaiki yang datang dari mereka yang pernah kita hianati.

Cuma mereka yang bodoh saja yang mau terjatuh dua kali ke lubang yang sama. Eh tapi gimana kalau ada lubang lainnya, ya? 

Post a Comment

8 Comments

  1. Wah seru banget mbak. Aku jadi pengen nontonalam Minggu besok nih...

    ReplyDelete
  2. Aku udah nonton teh dan sukaaaa banget sama lagu-lagunya.. Sampe suka muterin di YouTube nih dari kemaren.. :D Iya untung ada kisah Philip sama Anne itu yaa teh..

    ReplyDelete
  3. Pas nonton trailernya pun aku penasaran Teh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kudu nonton Win, biar baby di perut ga ngeces hihihi (apa coba?)

      Delete
  4. Aku mau nonton TGS hari inii!! Semoga beneran seru yaa :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seru, kok, Nin. Aku juga suka sama filmnya. Bawaanya pengen ikutan nyanyi terus walau suaraku fals hahaha

      Delete