Review Film The Gift: Tentang Hadiah, Kepekaan dan Kejujuran

Tiana cuma bisa bengong ketika Harun mengajaknya segera bergegas dari Kaliurang karena hari akan hujan. 

Masa, sih?
Langit begitu cerah. Tau dari mana Harun hari itu akan hujan? Sesaat kemudian air seperti ditumpahkan dari langit membuat Tiana segera menyusul Harun yang berjalan lebih dulu sambil mengetuk tongkatnya ke tanah.

Salah satu part dalam film The Gift yang saya tonton beberapa hari yang lalu seakan mengingatkan kalau Tuhan selalu memberikan kelebihan mengiringi kekurangan. Harun (Reza Rahadian) yang tidak bisa melihat bukan saja punya kepekaan yang kuat seperti perkiraan cuaca yang dirasakannya. Di bagian lain, hanya dengan beberapa kali menyentuh wajah Tiana yang diperankan oleh Ayusitha, lelaki tunanetra itu  ia bisa mengingat detil lekuk wajah Tiana dan membuat pahatannya pada tanah liat yang akurat, sama persis dengan aslinya. Belum tentu juga lho, kita yang punya panca indera yang lengkap bisa melakukan hal yang sama.

Tiana secara tidak sengaja bertemu dengan Harun saat ia memutuskan tinggal di Jogja selama beberapa waktu untuk menyelesaikan naskah novelnya. Walau moody dan menyebalkan, chemistry Harun membuat Tiana lekas jatuh cinta pada Harun.  Kenangan buruk pada masing-masing kedua orangtuanya dan minat yang sama pada dunia seni membuat mereka cepat ngekliknya. Ini contoh kalau yang namanya love at first sight bisa mengalahkan cinta lain yang bertahun-tahun lamanya menunggu walau sudah lebih dulu saling mengenal.   Di sisi lain, hubungan antara Harun dan Tiana pun tidak selalu mulus, semacam love and hate relationship. Kadang mesra, kadang ribut dan puncaknya adalah ketika Harun marah saat ia  menguping Arie melamar Tiana.

Konflik cinta segitiga yang melibatkan ketiganya membuat alur cerita yang berjalan selama 118 menit sempat berjalan lambat. Saya sempat mengantuk tapi bertahan terus dan terpesona dengan monolog Tiana dengan rasa yang nyastra  dalam beberapa bagian, ikut merasakan gemas ketika Boni menasehati Tiana untuk jujur pada diri sendiri.Saya juga  jatuh iba pada Arie  yang berada pada posisi tidak jelas,  dan merasakan speechless yang sama ketika menyaksikan Tiana yang hanya bisa membisu melihat kondisi ayahnya. Kalau sudah begini, siapa yang masih berkeras hati untuk tidak memaafkan luka di masa lalu?

Asbak dan puntung rokok secara konsisten menjadi simbol harapan dan kepekaan dalam film ini sejak awal, petengahan dan akhir film. Sementara gembok juga punya makna simbolis dalam film ini. Apakah kita akan mengunci atau membuka dengan segala konsekuensinya.

Kalau dalam keseharian kita sering menyaksikan wanita adalah korban harapan kosong, di film ini malah kebalikannya. Sifat plin plan Tiana bikin Boni sahabatnya  gemas. Ke sana iya, ke sini mau. Tiana tidak bisa jujur pada dirinya sendiri untuk  memutuskan pilihan sampai membuat ia terjebak dalam keribetan yang ia ciptakan sendiri.  Moral story-nya, harus berani menentukan pilihan dan berdamai dengan kenyataan. Tidak semuanya bisa kita dapatkan. Harus ada yang dikorbankan.

Mungkin sulitnya menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia, The Gift jadi pilihan yang pas bagi sutradara Hanung Bramantyo sebagai judul film ini. The Gift bisa berarti hadiah atau bakat, dan itu tergambarkan dalam film yang mengambil lokasi syuting di Jogja dan Italia.  

The Gift jadi semacam penebus dosa keduanya bagi penonton film Indonesia yang sempat kecewa dengan besutan Hanung sebelumnya yang juga melibatkan Reza dalam film Benyamin Biang Kerok sebelum ini. 

Good job. Saya sematkan skor 4 dari 5 bintang untuk film The Gift.

Post a Comment

2 Comments

  1. Resensi terbaik dari film the gift yg dari tadi saya cari cari.

    ReplyDelete