Saya termasuk yang ketinggalan ‘berita’ kalau ditanya
soal novel Pride and Prejudicenya Jane Austen.
Emang dia siapa? Hihihi... *duuh
Efi.... ke mana aja?* Novel klasik ini ternyata memang
layak jadi novel yang populer
sepanjang masa. Banyangin aja, sudah
sekitar 150 tahun sejak buku
ini ditulis. Sudah berapa generasi
pembacanya, tuh? Tadinya saya pengen ngereview sejak
lama. Beberapa detil keburu ada yang miss, padahal
novel ini termasuk rumit. Ada
sekitar 29 karakter yang terlibat, terhubung satu sama lain dalam
jalinan konflik yang sempurna bikin pembacanya harus ngunyah
pelan-pelan. Dipikir-pikir, sayang juga kalau ga dishare. So... ini dia ceritanya.
Judul Novel : Pride and Prejudice
Penulis : Jane Austen
Penerjemah : Berliani mantili Nugrahani
Penerbit : Qanita (Mizan Grup)
ISBN : 978-602-8579-54-4
Jumlah Halaman : 585
Dimensi : 12,5 x 19 cm
Hampir nyerah, karena di awal-awal plotnya terasa pelan untuk
dipahami. Apalagi dialog antar tokohnya cukup panjang, begitu juga
narasinya. Dengan tebal sekitar 580an halaman, memang cukup menguji kesabaran pembacanya. Syukurlah
font yang dipilih ga bikin mata cape.
Oke, kali ini saya ga kan
bikin resensi. Anggap saja semacam opini saya, ya. Toh, resensi ga boleh spoil, kan? :) Tokoh utama dari novel ini adalah
Elizabeth (Lizzy) yang punya kakak yang manis dan baik, Jane,
sementara adik-adiknya punya
karakter berbeda. Mary yang kutu
buku, Lydia yang percaya dirinya over dosis, keras kepala
dan sangat kuat pengaruhnya
terhadap Catherine.
Berhubung Mr Bennet, ayahnya Lizzy tidak punya anak, maka warisan miliknya harus jatuh
pada Mr Collins, keponakannya
yang menyebalkan. Tadinya, Mr Collins yang juga seorang pendeta dan merupakan anak angkat dari Lady Catherine De Bough
berniat menjadikan salah satu anak-anak dari keluarga Bennet jadi
istrinya.
Mrs Bennet yang sangat khawatir dengan masa depan
anak-anaknya sempat antusias
dengan niat Collins, tapi tidak dengan
suaminya. Mrs Bennet yang
matre dan emosional ini sebenarnya
susah memhami kalau Longborun, rumah kediaman mereka akan menjadi milik Collins.
Sayangnya, niat Collins untuk menikahi salahs atu gadis Longbourn hanya
bertepuk sebelah tangan. Collins yang kelewat percaya diri ditolak oleh Lizzy dengan jawaban yang telak.
“Mulai saat ini jangan anggap saya sebagai seorang wanita
anggun yang sedang berniat memikat Anda,
melainkan sebagai seorang mahluk yang berakal sehat yang mengatakan kejujuran dari lubuk hati
yang terdalam.” (halaman 170)
Menyerahkah Mr Collins?
Tidaaak, dengan muka tembok dia
menjawab dengan konyol. “Kamu begitu memesona, dan saya yakin bahwa setelah orangtuamu yaang baik merestui lamaran
ini, kamu akan segera menerima saya.” (halaman 170)
Iiiih, pengen noyor Mr
Over Confident ini, deh. Untungnya
Lizzy lebih anggun dan ga kan melakukan
yang saya bayangin kalau ada di posisinya ia, hihihi... *nih ya diganggu
siapa, yang emosi, siapa, ya?”
Untunglah, Mr Bennet
keep calm and woles dan tidak ambil pusing soal lamaran Collins ini. Lain Mr Bennet, lain juga emaknya Lizzy
yang mengira itu cuma sandiwaranya
Lizy saja. Jawaban Mr Bennet atas desakan
istrinya bikin saya sorak-sorak
bergembira. Yes, Sir. You rock!
Hahhaha..... Jadi ini yang
dibilang Mr Bennet sama Lizzy, “Kau sedang berhadapan dengan pilihan yang suit,
Elizabeth. Mulai hari ini,kau harus menjadi orang asing bagi orang tuamu
sendiri. Ibumu tidak sudi melihatmu lagi jika kau tidak menikah denga Mr Colins, dan
aku tidak sudi melihatmu lagi jika kau
menikah dengan Mr Collins.” (halaman 175)
Simalakama? Enggak, Lizzy malah senyum dan bikin ibunya
kaget mendengar jawaban ayahnya.
Protes dan misuh-misuh Mrs Bennet ditanggapi dengan santai oleh Mr
Bennet untuk menghargai sudut pandangnya serta meminta Mrs Bennet
segera keluar dari ruang perpustakaannya.
Ditolak Lizzy tidak membuat Collins patah arang, ia terus bergerilya dan menjatuhkan pilihannya pada Charlotte Lucas, puteri dari tetangga keluarga Longbourn, Lady Lucas. Keriangan Lady Lucas yang senang anaknya menikah cuma ditanggapi dengan masam dan bete oleh Mrs Bennet. Ah, dari dulu rivalitas tetangga yang suka main kipas-kipasan puh sudah ada, ya.
Sebelum kedatangan
Collins, sebenarnya para gadis
Longbourn sudah bertemu dengan Mr Bingley dan Mr Darcy - yang merupakan keponakan dari Lady
Catherine De Bough. Kedua pria ini sebenarnya
bersahabat dengan karakter seperti bumi dan langit. Bingley lebih ramah dan hangat, tidak
sepeti Darcy yang dingin, kaku dan
sombong. Ditambah lagi hasutan dari Wickham yang menjelek-jelekan keluarga Darcy terutama
Mr Darcy Senior dan isu kedekatan adik Mr Darcy, Georgiana
dengan Mr Bingley, kecengannya Jane. Gimana ga sebel coba Lizzy sama Mr Darcy? Jane yang baik dan manis menanggapi
‘solidaritas’nya Lizzy dengan bilang, “biarkanlah aku tetap menjaga
prasangka baikku, karena dengan
cara itulah aku ingin memahaminya.” (halaman
212).
So Sweet
Jane!
Di mata Lizzy, Wickham adalah seorang pria yang menawan dan
pandai meraih hati, tapi tidak
bagi Mrs Gardiner, bibinya Lizzy yang
pernah bertetangga dengan Wickham. Mrs Gardiner mengingatkan Lizzy
agar jangan sampai jatuh cinta
dengan Wickham.
Sementara Lizzy kesal dan
sebal bukan main dengan Darcy, ia malah semakin sering bertemu dengan Darcy yang kemudian ‘menembak’ Lizzy. Alih-alih diterima, Lizzy menolak
pernyataan Darcy dalam perdebatan
panjang, sukses membuat Darcy terkejut dengan reaksi Lizzy. Dalam perdebatan panjangnya, Elizabeth
memuaskan diri untuk melampiaskan
kemarahannya pada Darcy.
“Kau salah, Mr Darcy, jika
mengira bahwa caramu dalam menyatakan
perasaannmu akan memengaruhi keputusanku. Bahkan, kalaupun kau bersikap layaknya seorang pria
terhormat, aku masih akan tetap menolakmu.” (halaman 294).
Pandangan Lizzy
terhadap Wickham mulai berubah
ketika prajurit yang charming
ini malah membawa kabur
adiknya, Lydia tanpa ikatan pernikahan yang sah. Membuat
hati Catherine, adiknya yang lain patah hati. Konyolnya tanggapan Mrs
Bennet yang meskipun merindukan Lydia, malah tetap membelanya dan menyuruhnya untuk membeli gaun pengantin yang mahal.
Lydia dan Wickham yang
keras kepala, boros dan norak dan menyebalkan, sedang dimabuk cinta itu
terjerat hutang yang
banyak. Belakangan, Lizzy akhirnya mengetahui kalau
Mr Darcy lah yang menutup hutang-hutang Wickham. Semua berita
buruk tentang pria
yang terkesan dingin, angkuh dan sombong
itu pun mulai terbuka satu
persatu.
Lydia dan Wickham memang akhirnya ditemukan dan
dinikahkan. Mr Bennet sukses dibuat
marah, Lizzy muak, Jane yang dibuat syok namun ditanggapi dengan
riang gembira oleh Mr Bennet. Ulah menyebalkan Lydia sebenarnya bisa dibilang jadi jalan pembuka
mencairnya hubungan Lizzy dengan
Darcy, meski Lady Catherine De Bourgh pernah ‘mengintimadasi’ Lizzy karena
ingin menikahkan anaknya dengan Darcy.
Setelah Bingley
akhirnya melamar dan menikah
dengan Jane, masalah antara Lizzy dengan Darcy semaki membaik, malah kemudin mereka menikah. Lizzy
sengat tidak enak hati dengan sikap buruknya pada Darcy, “Jika
perasaanmu masih tetap sama seperti April silam, katakanlah kepadaku
sekarang juga. Perasaan dan harapan-ku tidak berubah, tapi satu kata darimu
akan membungkamku dari topik pembicaraan ini untuk selamanya.” (halaman 551).
It’s happy ending!
Hmmm, maafkan kalau
postingan saya kali ini sangaaat.... spoil banget (yeeh, kan tadi udah bilang, ya). Tapi percayalah, terlalu banyak detail untuk diulik dari buku ini.
Latar belakang budaya masyarakat di
Inggris yang senang menggelar pesta dansa,
dialog yang panjang dan cerdas, yang menyita
konsentrasi untuk mencerna agar benang merah cerita tidak terputus pada
bab lain, dan konflik
yang dibangun dengan rapi oleh
Jane Austen benar-benar keren. So , take your time biar enjoy ngebacanya.
Moral story yang bisa kita dapatkan dari Pride and Prejudice ini banyak banget, terutama soal menilai orang. Jadi bener ya, jangan menilai orang dari tampilan luarnya. Bisa jadi yang ngomongnya asik dan menyenangkan ga sebaik yang kita kira. Ya, ga berarti kita juga jadi parno sama orang yang baik gini. Ga gitu, juga.
Begitu juga kalau ketemu dengan orang yang punya pembawaan dingin, ga berarti sekaku yang kita kira. Mr Darcy, contohnya. Kurang baik gimana, coba dia sama Wickham yang resenya bujubune, daaah. Apalagi kita nih, yang perempuan (kita? loe aja kaliiii) lebih banyak mencet tombol emosi daripada logika. Tambahan lagi bumbu sedap gosip, wah jadi tuh ilfil tingkat dewa.
Ga semua sih perempuan kayak gitu. Saya kenal seorang teman di sosmed (belum pernah ketemu, sih), logika jalan banget. Jauh di atas rata-rata para perempuan yang mayoritas gampang kesel dengan kasak-kusuk ina inu. Mahluk seperti mereka emang langka, kadang mungkin omongannya bisa nyelekit, tapi sebenarnya ga seperti yang dikira. Iiiih... kok jadi bahas ini, ya? Ya pokoknya gitu, deh. Jangan buru-buru ditelen kalau dapat informasi. Kunyah pelan-pelan biarga tersedak.
Moral story yang bisa kita dapatkan dari Pride and Prejudice ini banyak banget, terutama soal menilai orang. Jadi bener ya, jangan menilai orang dari tampilan luarnya. Bisa jadi yang ngomongnya asik dan menyenangkan ga sebaik yang kita kira. Ya, ga berarti kita juga jadi parno sama orang yang baik gini. Ga gitu, juga.
Begitu juga kalau ketemu dengan orang yang punya pembawaan dingin, ga berarti sekaku yang kita kira. Mr Darcy, contohnya. Kurang baik gimana, coba dia sama Wickham yang resenya bujubune, daaah. Apalagi kita nih, yang perempuan (kita? loe aja kaliiii) lebih banyak mencet tombol emosi daripada logika. Tambahan lagi bumbu sedap gosip, wah jadi tuh ilfil tingkat dewa.
Ga semua sih perempuan kayak gitu. Saya kenal seorang teman di sosmed (belum pernah ketemu, sih), logika jalan banget. Jauh di atas rata-rata para perempuan yang mayoritas gampang kesel dengan kasak-kusuk ina inu. Mahluk seperti mereka emang langka, kadang mungkin omongannya bisa nyelekit, tapi sebenarnya ga seperti yang dikira. Iiiih... kok jadi bahas ini, ya? Ya pokoknya gitu, deh. Jangan buru-buru ditelen kalau dapat informasi. Kunyah pelan-pelan biarga tersedak.
Novel ini sudah pernah diangkat ke layar lebar, versi BBC yang rilis tahun 1990an, dan versi
yang lebih gress, diproduksi sekitar tahun 2.000an. kalau soal cantik dan cakep, saya lebih suka yang versi
2.000an, lebih segar gitu, hehehe.
Eh tapi..... kalau
penggambaran karakter, feelnya lebih dapet yang tahun 90an. Kalau malas baca buku yang tebalnya bisa dipake buat nimpuk, silahkan googling di youtube. Ada versi full versionnya, kok.
![]() |
Pride and Prejudice versi 90an (credit: swide.com) |
![]() |
Pride and Prejudice versi 2000an (credit: fanpop.com) |
Meski novel
jadul, novel ini sarat dengan pesan yang
dalam. Keren banget buat koleksi di rumah. Coba deh, sambangi stannya Mizan pas pameran buku biar dapat harga diskon. :)