Yeay, senengnya. Ini buku kedua yang selesai saya baca di tahun 2018. moga-moga istiqomah alias konsisten banyak baca bukunya. Jangan lupa like and sharenya hahaha....
Kali ini buku yang saya baca berjudul Berbagi Ruang, kumpulan esai yang ditulis oleh Nur Utami S.k. Seorang dosen yang juga ngeblog.
Wait, esai? Berat, dong?
Ga, kok. Berat bukunya ga sampai sekilo :). Hihihi becanda. Ya udah, saya cerita aja di sini,ya.
Buku Berbagi Ruang ini masih fresh, terbit pertama kali pada bulan Oktober 2017. Dengan tebal 214 halaman dan dimensi 15 x 21 cm, memuat 49 judul yang dibagi dalam 4 bab yaitu Beranda, Ruang Tamu, Kamar dan Dapur.
Tidak usah bingung kenapa pembagian bab-bab ini diberi nama dengan bagian-bagian dalam rumah. Semisal pada bab Ruang Tamu, di sana ada satu kalimat pembuka begini:
Jika di ruang ini yang tersaji adalah keresahan, masihka kau ingin bertamu dan bertemu.
atau pada bab dapur dibuka dengan:
Di sinilah segalanya diolah. Ruang ini menjadi lebih sibuk dari kantor berita.
Apa yang dtulis oleh Nur Utama S.K sebenarnya berawal dari keseharian yang dialami dan diamatinya. Hal-hal kecil yang sering jadi bahan obrolan selintas namun diracik jadi sesuatu yang dalam, serius tapi dikemas dengan gaya bahasa yang ringan. Semisal pada cerita pertama yang berjudul Es Teh Tawar. Dari wal cerita tentang kebiasan minum teh dan kopi, Nur Utami kemudian mengupas cerita jadi melebar namun tetap fokus pada fliosofi tentang teh dan kopi itu.
Minum kopi atau teh bukan saja soal hobi tapi jadi sebuah cara untuk melepas kangen dan ngobrol berpanjang-panjang dengan teman, apalagi kalau teman yang jadi partner saat menikmatinya itu teman yang udah lamaaa banget ga ketemu. Obrolan ngalor ngidul dari yang ringan, curhat sampai membahas topik yang sedang trending jadi bahan yang ga ada habisnya untuk dibahas. Dari bahasannya itu, kita bisa menilai persepsi atau sudut pandang seseorang, plus perbendaharaan kata yang dimilikinya.
Menariknya perbendaharaan kata setiap orang punya story behind atau latar yang beragam. Bukan cuma soal pendidikan, tapi juga keluarga, lingkar pertemanan dan interaksi yang mewarnai kesehariannya. Karena punya latar belakang sebagai dosen kajian bahasa, dalam setiap tulisan Nur Utami selalu mengutip referensi yang terkait. Tipikal akademisi yang selalu punya dasar dalam berteori ketika mengajar di kelas pun tercurahkan di bukunya.
Perlu waktu sedikit lebih lama untuk mengunyah paragraf dengan rasa 'ilmiah' ini. Tapi jangan khawatir, kutipannya enggak panjang-panjang kok. Malah di satu sisi kita akan merasa tercerahkan. Coba kalau disuruh baca sendiri semua buku-buku yang tulisannya dikutip. Let's say minimal satu buku dikali 49 judul tulisan di dalamnya. Hmmm.... nyerah deh saya, apalagi buku-buku non fiksi yang sifatnya ilmiah gini susah banget saya khatamin. Kalau pun sanggup baca kayaknya cuma pas jaman kuliah, dengan sedikit terpaksa. Ya daripada di kasih nilai D atau E? Ngulang? Males. Dapat titik aman C pun nyesek, kok hasilnya ga maksimal hahaha...
Dai obrolan soal teh itu akhirnya kita bisa memahami bukan cuma perbedaan selera bagaimana teh atau kopi itu disajikan. Dingin, panas, manis, tawar atau pahit. Berbeda bukan jadi alasan untuk saling menjauh karena perbedaan pendapat, apalagi cuma selera saja. Filosofinya kita jadi belajar untuk menghargai dan memahami persepsi yang berbeda. Malah dari obrolan yang kita lakukan dengan teman kalau dibawa santai ga pake debat malah bikin kita punya input baru. Ya, kan?
Itu baru satu cerita tentang teh dan kopi. Masih ada obrolan lainnya dari Nur Utami yang dimulai dari hal-hal yang kecil kemudian berkembang jadi topik yang bikin kita bilang gini" Ih iya, ya. Ga kepikiran."
Obrolan lain yang enggak kalah seru dan menariknya juga ada dalam bahasan seperti privasi dan pribadi. Sekilas nyaris punya makna yang sama padahal jelas beda. Lalu soal privasi ini dikaitkan dengan sosial media di mana dengan gampangnya orang-orang malah membukanya. Lagi-lagi alasan dari penulis merujuk pada referensi ilmiah. Dan tau ga sih, soal privasi ini juga jadi tema dari film Citizen Four?
Obrolan lain yang enggak kalah seru dan menariknya juga ada dalam bahasan seperti privasi dan pribadi. Sekilas nyaris punya makna yang sama padahal jelas beda. Lalu soal privasi ini dikaitkan dengan sosial media di mana dengan gampangnya orang-orang malah membukanya. Lagi-lagi alasan dari penulis merujuk pada referensi ilmiah. Dan tau ga sih, soal privasi ini juga jadi tema dari film Citizen Four?
Masih ada bahasan seperti perbedaan gender, mata, antri, cabai, bahasa, piknik dan banyak hal lainnya. Dari beberapa ceritanya juga, saya membaca Nur Utami ini bukan cuma tipikal orang yang senang ngborol dengan lawan bicara tapi juga punya ingatan yang baik dengan siapa saja iya pernah berinteraksi seperti pertemuannya dengan mantan mahasiswa yang mengikuti pelatihan guru di mana ia jadi instrukturnya.
Di sisi lain saya kadang mikir juga kalau beliau ini otaknya ga pernah ga sibuk mikir. Bahkan ketika dalam perjalanan pulang ketika mendapat kabar orangtuanya sakit, ada aja hal yang ditemuinya menjadi suatu hal yang jadi topik bahasan. Mungkin juga tipikal orang penasaran dan selalu ingin mengulik. Ditambah lagi dengan banyaknya referensi yang dimilikinya. topik bahasannya menjadi sesuatu hal baru yang ternyata terkait dan menarik. Bikin mulut kita pembacanya membulat. Oh,iya. Bener juga.
Tiga setengah bintang dari lima bintang saya kasih buat buku ini. Buat teman-teman yang senang baca buku dengan filosofi ringan dan gaya bahasa yang ga ngejelimet buku ini bisa jadi salah satu penghuni rak buku di kamar atau rumahnya.