"Pokoknya eike mah ga mau nonton film hantu. Ga usah liat filmnya, aku bisa liat kok. Sumpah nyeremin."
Seperti itu penolakan seorang teman yang tidak mau diajak nonton film horor. Entah film horor dari barat atau lokal. Satu waktu saat sampai ke rumah, sesosok kuntilanak sudah menyambutnya di depan rumah dengan kekehan tawa khasnya itu, berakhir dengan pingsannya beliau karena kaget campur takut.
Sosok hantu dalam film-film memang selalu digambarkan menyeramkan. Penuh emosi kemarahan dan merasa manusia seabagai ancaman. Kenapa mereka lupa, kalau dulunya juga manusia, ya? Kehadirannya diidentikan dengan aura balas dendam untuk urusan yang belum selesai.
Di awal waktu nonton film Ghost Writer, aku sempat menduga-duga kenapa Hantu Galih yang diperankan Ge Pamungkas hadir di rumah yang dikontrak oleh Naya (Tatjana Saphira) dan adiknya, Darto (Endy Arfian). Apa lagi dalam satu secene diceritakan Galih mengusir mereka lewat PR yang sedang dikerjakan. Tapi karena sejak dari awal penonton sudah diinfokan film ini bergenre horor komedi, aku lebih cepat rileks dan beradaptasi dengan jump scare yang muncul.
Jadi gimana rasanya bisa melihat penampakan hantu? Kalau bukan karena dikejar kebutuhan, mungkin reaksi Naya bakal lain. Terdorong kebutuhan finansial karena tabungannya yang semakin menipis, Naya mengajak hantu Galih untuk menjadi partner nulisnya. Film yang mengusung judul ghost writer beneran mendapuk hantu Galih sebagai ghost writernya Naya. Menuliskan kisah hidup Galih di masa lalu sebagai draft novel yang akan diajukan oleh Naya.
No Jenjeng dan no drama yang disyaratkan oleh Bu Broto(Asri Welas) sebagai atasannya Alvin (Ernest Prakasa) yang jadi editornya Naya, sebenarnya mengisyaratkan gimana lebaynya sinetron dan kebanyakan film hantu di bioskop Indonesia. Hayo, siapa yang masih berusaha menahan jantungnya biar ga copot saban ada tanda-tanda hantunya bakal muncul dalam satu scene?
Tapi tetep saja permintaan pasar yang menyukai drama yang hiperbolis yang mengendalikan situasi. Naya berada dalam dilema antara kebutuhan untuk menuliskan cerita dengan kesepakatan yang sudah dibuat dengan Galih dan tuntutuan editorial. Ini juga yang semakin memantik kemarahan hantu lain yang sedari awal sudah ingin menunjukkan eksistensinya dalam rumah yang dikontrak oleh Naya.
Dalam beberapa film yang melibatkan Ernest di dalamnya aku menemukan kesamaan seperti kehadiran rombongan komika sebagai cast pendukung dan drama keluarga yang paling tidak bikin mata jadi berkaca-kaca. Meski begitu film ini tidak kehilangan gregetnya sebagai hiburan. Apalagi waktu tayangnya yang berbarengan dengan libur lebaran, di mana banyak penonton bioskop itu adalah keluarga yang ramai-ramai nonton bareng.
Ga usah cape mempertanyakan kenapa begini atau begitu. Ini juga yang diwakili dalam dialog Arie Kriting dan Muhadkly Acho soal hantu. Mereka memang tidak berperan penting dalam masalah Naya dan Galih, tapi mengajak penonton untuk melihat hantu dalam persepsi lain lewat dialog-dialog satir dan nyelenehnya mereka. Seakan ingin mengajak kita untuk menertawakan hantu sebagai sosok yang konyol, bukan sebagai sosok yang layak ditakuti.
Kalau kebanyakan sosok hantu seperti Galih yang komikal dan tidak punya ‘wibawa’ sebagai hantu mungkin temanku yang parno punya ‘indera spesial’ itu, bakal santai diajak nonton film horor. Hantu atau mahluk astral tidak selalu identik menyeramkan, penuh emosi dendam yang membara, mengajak orang lain yang dibencinya ikut mereka ke neraka. But well, belum tentu semua orang bersedia ada di situasi dan posisi Naya yang bisa merasakan dan melihat keberadaan mereka.
Tidak mau punya penglihatan yang peka seperti temanku itu bukan berarti kalian lantas menolak untuk menonton film Ghost Writer ini, lho. Anggap saja Galih ini bentuk dewasanya hantu Casper yang lucu, ramah dan suka menolong.
Lagi pula biasanya hantu itu cuma mengganggu mereka yang bersalah di masa lalu, kan? Kalau tidak punya masalah, mestinya kita santai saja. Mungkin mereka butuh bantuan yang justru untuk menyelesaikan masalah dengan cara lain tanpa menimbulkan korban nyawa. Percayalah, dendam tidak menyelesaikan masalah, malah hanya akan mengusik luka lama. Ini pesan dari fimnya, lho. Bukan dariku :) Sssst.... walau sudah agak sering nonton film horor, kadang malam-malam saat mau tidur aku masih berusaha mengenyahkan cuplikan adegan horor yang terputar kembali dalam benak. Nyebelin emang.
Balik lagi ke film. Selama nonton Ghost Writer, mata kita akan dibuat sering menangis untuk dua alasan. Cape tertawa dan keharuan yang manis yang terselip. Jadi ayo nonton, ga usah takut karena hantu yang satu ini beda dengan yang lain.