Little Women : Tentang Sisterhood, Idealisme, dan Cinta Monyet Gadis Amerika

Waktu lihat trailernya Little Women wira wiri di bioskop dan youtube, tiba-tiba saja teringat sama satu buku yang ada di rumah. "Ini mah punya bukunya." Eh koreksi, punya adik tepatnya.  Sudah sejak kapan hari mau baca selalu jadi wacana. Berkat diangkat jadi film lewat besutan sutradara Greta Gerwig, film yang meraih best cosutme di ajang Oscar kemarin, akhirnya kesampaian juga buat khatamin novelnya. 

Terus terang, faktor kostum para pemainnya ini jadi daya tarik utama. Sementara saya sendiri ga dapet gambaran yang memuaskan mau seperti apa novelnya Louisa Mary Alcot ini diadaptasi ke layar lebar. Pokoknya harus baca dulu novelnya sebelum nonton. Begitu tekad yang sudah membaja.

Little Women (pake e, artinya jamak, ya. Sekumpulan wanita-wanita cilik, bukan seorang) menceritakan 4 kakak beradik yaitu Meg anak sulung  alias Margaret (Emma Watson), Jo si tomboy, nomer dua yang nama lengkapnya Josephin (Saoirse Ronan), Beth atau Elisabeth si pemalu yang jago musik (Elida Scanlen), dan terakhir, si bungsu Amy yang suka melukis (Florence Pugh).

Mereka tinggal bersama ibunya March (Laura Dern), yang mereka panggil Marmee dan seorang art yng setia bernama Hannah (Jayne Houdyshell). 

Novel yang ngambil seting di Amerika pada pertengahan 1800an ini menceritakan keseharian mereka yang terasa semakin berwarna setelah mengenal Laurie (Timothee Chalamet), cucunya Mr Lawrence yang tajir melintir dan punya apa saja yang diinginkan oleh keempat gadis ini yang dulunya kaya. Iya, kaya tapi karena sesuatu terjadi, mereka jatuh miskin. Mr March ayah mereka pergi berperang. Kalau cari tahu dari beberapa sumber, tahun segitu Amerika sedang mengalami perang saudara. Perang Bull Run yang membelah Amerika jadi Amerika Utara dan Amerika Selatan? Entahlah, ga dibahas dalam novel ini. 

Cuma Amy yang masih sekolah. Sementara Meg dan Jo sudah bekerja, dan Beth tinggal di rumah saja.  Meskipun sudah ada dua anak gadisnya yang bekerja, ga lantas membuat Marmee punya uang banyak untuk bermewah-mewah, selain sisa kejayaannya dulu sewaktu masih kaya. 

Beruntungnya Mrs March, karena meski suka mengeluh dengan kehidupan yang miskin dan menyebalkan, Meg dan adik-adiknya punya belas kasih yang luas. Rela mengabaikan sarapan pagi di hari natal buat menolong keluarga yang miskin dan kelaparan dengan memberikannya pada mereka. Kebaikannya mereka inilah yang membuat Laurie, si cowok tetangga sebelah alias the guy next door (sound familiar? iya ini nama boyband di tahun 1980an itu hahaha) tertarik dan membuka pertemanan dengan keempat gadis March.

Jarak usia diantara mereka yang tidak terlalu jauh (Laurie 17an Meg usia 16an, Jo 15, Beth 14 dan Amy 12) membuat mereka lekas akrab dan sering jalan bareng. Karena jaman segitu belum ada yang namanya mall atau bioskop, hiburan termewahnya adalah datang ke pesta dansa. Sementara buat rekreasi yang murmer adalah main piknik seperti yang biasa mereka lakukan di waktu luang.



Ada beberapa hal yang berbeda dari pengungkapan cerita versi novel dan fillmnya, ini. Beruntung deh sempat membaca novelnya dulu, jadi menemukan sedikit banyak  hal yang tidak bisa diungkapkan oleh versi layar lebar. Walau sebenarnya versi novel ini membutuhkan kesabaran ekstra kalau tidak mau dibilang putus asa. 

Boring? Enggak juga kok. Dibanding novel klasik ala Jane Austen yang juga populer di era yang kurang lebih sama, gaya bercerita Louisa mary Alcott lebih lugas dan ga rumit. Ga terlalu bikin mikir. Ya makanya saya bias beresin novelnya kurang dari seminggu. 

Cuma rasanya baca novel ini terasa flat, konflik yang terbangun terasa kurang greget. Berbeda dengan treatmentya Greta Gerwig yang dinamis berkat plot maju mundurnya itu. wow,keren. Itu yang langsung terlintas pas pembuka filmnya.  Terlalu cepat berkomentar? Enggak juga. Karena film dibuka ketika Jo sudah beranjak dewasa dan menjadi seorang penulis. 

Sementara di versi novelnya  (bukan komik lho, ya) timeline Little Women ga menceritakan mereka sampai di titik usia yang sudah dewasa. Walaupun ga terlalu jauh sebenarnya, paling rada maju dikit sekitar 5 tahun. Makanya ga heran juga kalau perubahan wajah mereka ga begitu kentara. Apalagi Jo yang punya andil lebih besar dalam cerita ini pun ga berubah banyak. Yang kebayang malah sebaliknya. Waktu alur mundur ini, Jo malah terkesan terlalu tua untuk anak abg usia 15an. Tapi ya mungkin pada masa itu gadis-gadis sebayaan mereka lekas dewasa, ya.

Perbedaan lainnya yang nampak dari versi novel vs film ini adalah akhir kisah dari masing-masing karakter.  Tidak seperti di film ketika masing-masing mereka sudah menemukan jodoh dan karirnya, friendzone yang terjadi antara Jo dan Laurie pun punya cerita yang berbeda.   

Sejujurnya friendzone antara Jo dan Laurie versi layar jauh lebih menggemaskan. Laurie yang flamboyan harus mati-matian membuat Jo menerima cintanya. Sialnya, Jo bersumpah tidak mau jatuh cinta sama mahluk tuhan berlabel laki-laki. Gilanya Jo dia lebih memilih untuk menikahi Meg, kakaknya sendiri. Bukan karena incest atau LGBT gitu, tapi karena Jo segitu posesif dan protektif dengan saudara-saudaranya. Bahkan di lain waktu Jo sempat memaksa Meg untuk bersumpah tidak akan menikah.

Bagaimana Greta Gerwig memilih ending film ini bukan cuma sukses mengaduk perasaan penonton. Sinematografi di akhir film yang menceritakan proses pencetakan naskah novel jadi sebuah buku sungguh menawan. Buku menjadi sesuatu yang mewah dan bernilai.

O,ya mungkin ada yang akan bingung mengapa Jo sempat memotong rambut saat Mrs Macrh pergi menengok suaminya yang sedang sakit keras. Kalau penjelasannya diangkat lebih banyak di film bakal jadi scene yang menyentuh, di mana seorang Jo rela memotong rambut demi membantu biaya pengobatan ayahnya itu.

Bagian yang tidak kalah menarik dari versi film  (juga novelnya) adalah perdebatan keempat saudari  ini menghadapi kecerewatan dan kenyiyiran Bibi March, kakak dari ayah mereka (Meryl Streep) soal institusi pernikahan. 


Bagi Bibi March,  pernikahan adalah cara termudah untuk mengatasi kemiskinan tapi ia mati-matian melarang para keponakannya untuk menikah.  Sementara bagi Meg dan Jo, menikah bukan soal mengatasi masalah ekonomi.  Akses pendidikan dan pengetahuan adalah cara bagi mereka membuat perempuan jadi terhormat, tanpa harus menjadi orang kaya. Walau ngeselin, karakter Jo di sini paling menarik ditambah aktingnya Saoirse Ronan yang menawan.

Dialog Jo dan Mr Dashwood (Tracy Letts) di film ini juga sungguh menggelitik ketika keduanya berdebat panjang soal akhir cerita dan besaran royalti yang ditawarkan. Diskusi alot mereka lebih mengerucut pada bagaimana kesepakatan akhir cerita ditentukan.  Meski terasa klise, pembaca (apa penonton?) lebih menyukai salah satu dari dua ending. Tragis atau romantis. Soal idealisme jadi tak penting karena itu tidak penting.

Jadi Little Women ini bukan soal cerita menye-menye cinta monyet  yang rumit diantara 4 gadisnya Keluarga March. Ada ketulusan, kehangatan dan isu yang menarik (mungkin juga menyindir industri film hahaha) yang ditawarkan. Makanya aku kasih 4 dari 5 bintang buat film ini.

Ga percaya? Buktikan aja sendiri. Tonton film dan baca novelnya juga, ya.


Post a Comment

1 Comments

  1. Fix . .sekarang juga gue order novel ini. makasih reviewnya mbak

    ReplyDelete