Review Novel: Sisi Lain Kehidupan Kartini

Setiap mendengar nama Kartini disebut, ada dua hal yang keingetan sama saya. Pertama adalah dandanan seorang perempuan dengan sanggulnya yang khas. Yang kedua adalah otoriter adat priyayi di mana saya pikir tadinya ayah Kartini yang paling dominan dalam urusan itu.   Dan ternyata bayangan saya selama ini tentang kedua hal itu salah. 

Walaupun dalam versi layar lebar besutan Hanung, Kartini yang diperankan Dian Sastro selalu bersanggul, sesungguhnya  Ni - begitu nama kecilnya - lebih suka menggerai rambutnya. Begitu juga soal ayahnya. Ternyata Raden Sosroningrat adalah sosok ayah yang ngemong.  Ayah idaman yang selalu pengertian, ngertiin anak gadisnya, dan selalu bersedia menemani untuk pergi ke mana saja, bahkan ke Jakarta yang lumayan jauh jaraknya dari Jepara.  

Cerita itu saya dapatkan setelah membaca novel Kartini yang ditulis oleh Abidah El Khalieqy, yang juga menulis novel Perempuan Berkalung Sorban. 

Judul Novel: Kartini
Penulis : Abidah El Khalieqy
Penerbit: Noura Books 2017
ISBN: 978-602-385-280-2
Tebal: 376 halaman

Biasanya saya bakal membaca novelnya dulu baru bakal menonton versi layar lebarnya (kalau ada). Dan kalaupun kebalikannya,  yaitu langsung nonton filmnya  saya suka jadi males baca novelnya. Emmm... enggak tau kenapa hehehe. 

Padahal feelnya kan suka beda, ya? Tapi untuk Kartini ini pengecualian deh.  Banyak hal baru tentang Kartini yang saya dapatkan dari filmnya bikin saya penasaran dan ga merasa rugi buat membaca versi novelnya. Walau secara umum garis besar antara novel dan film ga jauh beda tapi selalu ada hal lain yang tidak bisa kita gali secara penuh dari film. Lagian membaca novel itu membuat imajinasi kita lebih dinamis, ga dibatasi oleh visualisasi yang sudah diseting oleh sutradara dan krunya. Setuju?

Bagian awal novel menceritakan  kegelisahan Snouck Hurgronje. Ilmuwan Londo yang kita kenal punya wawasan luas tentang Islam terutama di Indonesia.  Hurgronje ternyata dibuat resah dengan sepak terjangnya Kartini. Walau saat itu Belanda tengah menjalankan kebijakan Politik Etisnya,  apa yang dilakukan oleh Kartini sudah dianggap kelewatan. Harus dihentikan. Kartini sudah keluar dari skenario yang direncanakan. Catet ya, pintar ga selalu  berbanding lurus dengan kebijakan atau kelembutan hati.  Contohnya Hurgronje ini.   Dia tahu banyak tentang islam tapi sayangnya tidak mendapatkan hidayah.

Pencetus utama kegelisahan Hrugroje juga orang-orang Belanda dalam lingkaran kekuasaan disebabkan perkenalan Kartini dengan Kyai Sholeh Darat. Ulama itumengenalkan Kartini pada terjemahan ayat-ayat Quran. Walau akses literasi dibuka lebar (ya sih, masih terbatas khusus bagi priyayi pula ini), mengenal terjemahan Quran itu soal lain.  Pemerintah Belanda saat ini sangat khawatir jika pemahaman terhadap Islam akan membangkitkan semangat pemberontakan dan menolak jadi boneka Kolonial Belanda di kemudian hari.  Bersyukurlah kita yang hidup sekarang karena selain mengenal bacaan salat dan quran juga tahu artinya. Ketidakmengertian Kartini akan  bahasa arab dalam salat dan doa sempat membuatnya putus asa dan mogok salat. Kartini merasa ibadah yang dilakukannya terasa hambar. 

Sebenarnya Kakek Kartni, Pangeran Condronegoro IV tidak sepenuhnya menjadi boneka pemerintah Belanda dengan menjadi Bupati Demak.  Bujukannya kepada Sosroningrat agar menikahi Wuryan, ibu tirinya Kartini pun untuk menyelamatkan rakyat Jepara agar kekuasaan tidak dipegang oleh orang yang salah.  Dalam novel ini juga diceritakan  lebih detil sikap Sosroningrat yang sepenuhnya mendukung cita-cita Kartini, kecuali untuk satu hal, melanjutkan Sekolah. Sosroningat tidak kuasa walau hati kecilnya ingin.

Sosroningrat tidak hanya menyuplai Kartini dengan buku-buku bacaan yang melimpah, tapi juga memberi izin Kartini untuk pergi ke luar dari kamar pingitan. Mengajaknya pergi ke berbagai pertemuan pejabat,   menemui Henry van Kol di Jakarta untuk beassiswa, sampai memendam sakit karena menelan dilema pro dan kontra di dalam keluarganya demi Kartini.

Selain pencerahan yang didapatkan Kartini dari Kyai Sholeh Darat, obrolan dengan ibunya, Ngasirah mencerahkan persepsi Kartini tentang posisinya sebagai seorang perempuan.   Dengan redaksi yang senada dari ibu tirinya, Raden Wuryan,  Kartini mendapatkan rasa yang berbeda dari ibu kandungnya. Bila Wuryan lebih menekankan arogansinya sebagai pemilik darah ningrat lebih mulia dari Kartini, Ngasirah membuat Kartini lebih luluh melupakan cita-citanya sekolah ke Belanda karena alasan kepatuhan.  Ada hak untuk belajar tapi di sisi lain kita tidak bisa terus menuntut  hal yang sama karena ada kewajiban juga yang harus ditunaikan.

Jika di awal cerita kita mengenal Kartini bersahabat dengan Stella Zehandelaar, Hilda von Suylenberg dan Cecile De Jong,di novel ini kita menemukan hal baru  apa yang terjadi di antara mereka.  Yang tidak kalah menariknya, di antara para pemangku kekuasaan Belanda yang ada di Indonesia ternyata mempunyai misi masing-masing (bisa ga sih saya bilang memperalat?) terhadap Kartini. Meskipun  berlabel Politik Etis,  kalau dipikir-pikir Belanda sebagai pemerintah kolonial enggak akan sebegitunya ngasih kebaikan pada Kartni. Mesti ada 'harga' yang diminta oleh Pemerintah Belanda di kemudian hari.
Walau sekuat tenaga Slamet dan Busono menjegal  Kartini,  jabatan yang diterima keduanya tidak lepas dari peran Kartini. Alih-alih mennyombongkan diri atau nge-skak kedua kakaknya untuk membalas budi, Kartini tidak pernah ambil pusing soal itu. Moral storynya jangan pernah rugi berbuat kebaikan dan menuntut balasan. Begitu mungkin, ya. Dan mungkin nih karena itu juga, Slamet, rela melepaskan egonya dan bersikap lunak di saat-saat menjelang pernikahan Kartini dengan bupati Rembang.

Rivalitas saudara kandung dan saudara tiri yang beradu siasat, dialog imajiner  dengan sahabat pena, atau chemistry yang hangat antara anak dan ayah adalah alasan saya merekomendasikan novel ini buat jadi salah satu penghuni baru di rak  bukunya. Kalau tidak sempat menonton filmnya, membaca novel ini akan membuat kita memahami mengapa Kartini mendapat posisi istimewa dibanding pahlawan wanita lainnya.Tanpa menafikan kontribusi yang sudah diberikan, Kartini berbeda dari yang lain karena dia menulis.

Post a Comment

0 Comments