Yeay, happy new year 2018! Time flies, ya. Kalau ngomongin soal taun baruan, biasanya ga jauh-jauh dari resolusi. Saya sebenernya udah males bahas resolusi. Ya ada sih, entah itu yang baru atau melanjutkan wacana yang udah-udah hahaha... But anyway resolusi tanpa action itu kayak wacana. Ngomongnya guampangj banget. Eksekusilnya duileee... susyeh. Lebih ke mengalahkan rasa malas atau moody yang kayak amplitudo. Naik turun tapi banyak turunnya.
Oke, segitu dulu openingnya. Ngomongin soal pencapaian di tahun 2018 saya seneeeeng banget karena sore ini sebuah prestasi (((prestasi))) berhasil saya torehkan. Satu buku berhasil saya khatamkan dalam waktu dua hari.
Saya belinya jumat malam, baca dikit, lanjut di hari sabtu. Minggunya break, dana siang tadi beres saya baca. Tampak receh banget, tapi ini pencapaian terbaik saya setelah sekian bulan susah banget namatin buku. Bikin blog saya yang tadinya bernama akunbuku.com jadi resensiefi.my.id ini jarang terupdate (soal kenapa jadi ganti nama domain saya cerita di lain postingan, ya).
Nah, buku apa sih yang udah berhasil saya tamatkan?
Udah tau dong ya siapa dedek amaze ini? Saya lupa gimana ceritanya bisa nemuin akun youtubenya Gita Savitri a.k.a Gitasav ini. Salah satu youtuber yang bikin saya betah nongkronginnya. Entah itu endorse, tutorial, sekadar obrolan sersan (serius santai) sampai cover versionnya baik yang sendiri maupun dengan temannya, Paul. Walau merasa sering lihat youtubenya, saya belum khatam nontonin semua vlognya Gitasav. Selain kepoin youtubenya, saya juga ngikutin akun IG-nya. Makanya ini jadi alasan saya buat beli bukunya.
Hari jumat kemarin saya janjian sama seorang temen. Karena jalanan lancar jaya, bikin saya datang lebih awal. Males nunggu dan ogah belah beloh sendirian di food court bikin saya milih melipir dulu ke toko buku Gramedia. Meski masih banyak tumpukan buku yang belum dibaca sampai tuntas, godaan buat jajan buku ga bisa saya tahan dan begitu nemu bukunya Gitasav, saya akhirnya memutuskan untuk mengadopsinya.
Trus kapan cerita resensi bukunya?
Bentar... ini mau, kok.
Buku bersampul biru terbitan Gagas Media ini tebalnya cuma 200 halaman dengan dimensi yang standar, 13x 19 cm. Pilihan fontnya asik bikin enak dibaca. Selain ga bikin lelah mata, diksinya Gita serenyah cerita-ceritanya di youtube. ini yang bikin saya enjoy baca buku berjudul Rentang Kisah ini segera selesai dibaca. Ga heran, di tahun yang sama (2017) sudah 4 kali cetak ulang! Wow.
Rentang Kisah dibagi dalam beberapa sub topik. Ibu selalu Salah jadi bab Pembuka. Dilanjut dengan judul lainnya, yaitu:
- Antara Passion dan Mimpi
- Why Can't I Just Get What I want?
- Mempertanyakan Kembali Keputusan
- Dua Puluh
- Beda Agama
- Nggak Tahu Apa-apa Tentang Islam
- Mustahil Bersyahadat
- Ragu Bisa Istiqomah
- Pulang Ke Jakarta
- Nasihat Untuk Gita
- Tulisan-tulisan Gita di Blog
So, jadi ada 12 bab di buku ini. Tapi kalem aja ya, dengan ketebalan buku 200 halaman 12 bab ini pendek, kok.
Di bab pembuka Gita bercerita bagaimana bisa sampai kuliah ke Jerman, yang sistem pendidikannya jadi salah satu panutan di Eropa. Awalnya Gita enggak pernah berpikir bisa sampai ke sana, walau dulu orangtuanya pernah tinggal di sana sampai jelang HPL-nya Gita. Gita juga waktu SMAnya pernah ngambil kursus bahasa Jerman tapi awalnya itu bukan diproyeksikan olehnya buat kuliah di Jerman. Hampir sama dengan kebanyakan anak-anak SMA, Gita menjalani masa-masa SMAnya go with the flow. Mengalir aja tanpa target atau ambisi apa-apa. Lah, baca buku atau catatan aja cuma pas mau ulangan.
Saat memasuki persiapan masuk kuliah, baru deh Gita dibuat kalang kabut. Mau kuliah ke mana? Ngambil jurusan apa? Eh setelah gedebak gedebuk ngambil les pra ujian masuk PT dan keterima di salah satu PTN bergengsi mamanya malah nyuruh kuliah di Jerman. Kesel? Kalau saya, iya. Udah susah payah gitu eh malah disuruh ganti haluan.
Duh rasanya jerih payah memperjuangkan masa depan meski baru di tahapan menjelang kuliah itu udah luar biasa menguras tenaga dan emosi. Tapi Gita ini walau keras kepala dan emosinya masih suka meledak-ledak akhirnya nurut dengan saran mamanya. Alasannya sederhana saja. Ridho orangtua. Maka dengan segala dramanya harus menjeda kuliah 2 tahun (satu tahun di Indonesia dan 1 tahun di Jerman) berangkatlah Gita ke Jerman. Di usianya yang masih belia, 18 tahun Gita 'dipaksa' untuk menjadi seseorang yang dewasa dalam banyak hal.
Dari buku ini saya yag kepo dan belum nemu jawaban relationshipnya dengan Paul akhirnya menemukan jawaban. Langsung dari narsumnya, bukan dari akun-akun hosip di ig gitu huehehe... Saya jadi paham gimana Gita bisa menyikapi kasus Rina Nose yang sempat dibully di medsos karena membuka hijabnya itu dengan bijak. Seperti yang Gita bilang, lain orang lain kolam. Sumber informasi dan referensi yang didapat berbeda jadinya bikin pola pikir dan reaksi terhadap sesuatu isu yang lagi ramai juga jadi beda.
Dengan adanya perangkat gadget di tangan memang membuat kita mudah mengakses berita yang sialnya malah membuat kebanyakan penggunanya jadi kudu disuapin. Belum lagi drama ribut-ribut di medsos atau broadcast hoax.
Blogpostnya yang berjudul Generasi Tutorial yang pernah ditullisnya di blog jadi viral dan membuat postingannya dikomentari sampai 200an di mana banyak komen-komen pedas dan nyinyir ditujukan padanya. "Emang lo udah berbuat apa buat Indonesia? Bisanya komen doang." Kurang lebih seperti itulah. Penasaran kan apa yang sudah dilakukan sebagai seorang diaspora seperti Gita?
Blogpostnya yang berjudul Generasi Tutorial yang pernah ditullisnya di blog jadi viral dan membuat postingannya dikomentari sampai 200an di mana banyak komen-komen pedas dan nyinyir ditujukan padanya. "Emang lo udah berbuat apa buat Indonesia? Bisanya komen doang." Kurang lebih seperti itulah. Penasaran kan apa yang sudah dilakukan sebagai seorang diaspora seperti Gita?
Jadi seorang diaspora buat Gita juga bukan hal yang mudah. Jangan ditelen bulat-bulat deh postingan pelajar Indonesia yang lagi belajar di luar negeri sana. Ga semuanya serba enak. Kan ga semua kisah 24 jamnya kita ikutin. Every post on social media has it drama. Gitu lho yang selalu saya pikir.
Perjalanan spiritualnya juga menarik untuk dibaca. Bukan hanya beradaptasi sebagai seorang muslimah dalam urusan solat, puasa, berhijab atau soal keyakinannya soal hidayah untuk dirinya sendiri atau Paul bikin saya mikir gini. Ga selalu kok, mereka yang tinggal di Eropa bakal berubah jadi seorang yang hedonis, sekuler, pergaulannya bebas dan stempel negatif lainnya yang melekat.
Perjalanan spiritualnya juga menarik untuk dibaca. Bukan hanya beradaptasi sebagai seorang muslimah dalam urusan solat, puasa, berhijab atau soal keyakinannya soal hidayah untuk dirinya sendiri atau Paul bikin saya mikir gini. Ga selalu kok, mereka yang tinggal di Eropa bakal berubah jadi seorang yang hedonis, sekuler, pergaulannya bebas dan stempel negatif lainnya yang melekat.
Abis baca buku Gita juga bikin saya mikir soal pengharapan-pengharapan yang saya langitkan. jangan-jangan doa saya kayak mendikte Allah, seakan-akan bilang ya Allah plisss kabulin, plisss ini kesampaian dan seterusnya. Manuasiawi emang tapi kadang ya, yang namanya desire itu bisa jadi toxic for heart kalau ga dibarengi ikhlas.
Yup ikhlas. Ini kata kuncinya Dengan segala bayangan yang terasa mustahil vs keinginan yang dalam, Gita memilih untuk ikhlas, menyerahkan semuanya sama Allah sampai kemudian keajaiban demi keajaiban hadir dalam kehidupannya. Paul yang akhirnya bersyahadat (ga semudah itu lho Paul mengambil keputusan) dan bagaimana keputusan Gita akhirnya berhijab adalah titik balik yang saya suka di buku ini.
Cerita tentang kehidupannya karena bagian dari minoritas di negara seperti Jerman juga part menarik. Ketika kebanyakan kita berpikir kenapa sih, yang minoritas ga dihargai? Kenapa tidak ada fasilitas yang dikasih? Kenapa masih ada diskriminasi? Gita malah punya sudut pandang lain, memang kenapa kita harus memaksa setiap orang punya pikiran dan sikap seperti yang kita inginkan? Walau memang ada demo-demo yang menunjukan anti Islam, secara umum masyarakat di Jerman adalah orang-orang yang cuek dan ga ambil pusing lihat perempuan berbusana muslimah yang syar'i sekalipun.
Jadi minoritas memang ada risikonya tapi bukan juga jadi alasan untuk play victim, padahal kala sebenarnya masih bisa solat di mana saja tanpa dilarang, banyak gerai-gerai makanan halal atau masih bisa mendapat perkerjaan tanpa takut melepas identitas. Kan, rejeki yang ngatur Allah bukan bos. Mereka cuma perantara aja.
ilmu tentang ikhlas dan cinta tidak datang ujug-ujug, dan Gita menjemputnya sampai harus ke Jerman sana. Gita yang dulunya seorang remaja cuek, keras kepas, ga jelas masa depannya mau ngapain menjelma jadi seorang muslimah yang punya pikiran bikin saya amaze. To be honest, saat usia 20 tahunan ketika sudah menyandang status mahasiswa pun saya masih jauh dari pola pemikirannya.
By the way, ngomongin soal karakter, Gita ini termasuk tipe manusia unik di dunia yang populasinya cuma ada 1% aja, yaitu INTJ. Salah satu dari belasan Myers-Brigg Traits yang ada di dunia. Isaac Newton, Stephen Hawking, atau Marrk Zuckerberg juga termasuk diantaranya. Menjadi manusia langka atau lain dari yang lain bukan aib , kok.
So, saya kasih 4 dari 5 bintang buat buku ini.Guys, you should read it!