Kurang lebih sejak satu terakhir saya jadi lebih sering nonton film, khususnya film Indonesia. Film barat juga, sih tapi ga sebanyak film Indonesia. Ga seperti kebanyakan movie goers lainnya, di mana film barat justru porsinya lebih banyak. Menurut saya sih, film Indonesia banyak yang layak apresiasi, lho. Mau film-film lokalnya keren dan booming kayak industri film di India atau Korea? Ya kasih apresiasi dengan nonton di bioskop.
Ga percaya film lokal itu bagus? Nih, saya kasih contoh. Ada Night Bus yang plot sepanjang filmnya bikin deg-degan atau Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak yang meraih penghargaan di ajang internasional. Film yang mengangkat latar Indonesia Timur ini emang kental banget dengan tipikal film ala-ala festival. Eits, jangan salah. Walau begitu, film ini ga kalah serunya dengan film mainstream lainnya. Nanti kalau punya kesempatan nonton film ini jangan dilewatkan lagi, ya.
Ngomongin soal film-film berlatar Indonesia timur, ga cuma menarik dari sinematografinya saja, lho. Semacam Salawaku, Jembatan Pensil dan Marlina, ternyata film-film ini juga mengangkat kearifan lokal yang keren. Salawaku yang juga mendapat apresiasi dari luar negeri sebenarnya bakal lebih menarik kalau memperdalam konflik tentang hubungan cinta terlarang yang dialami oleh Binaiya. Sayangnya, fokus film bukan pada tokoh Binaiya melainkan pada Saras dan Salawaku.
Baca juga Salawaku: Ketika Patah Hati Bertemu Culture Shock-dan Kegokilan
Baca juga Salawaku: Ketika Patah Hati Bertemu Culture Shock-dan Kegokilan
Soal cinta yang terlarang kembali diangkat dalam film Silariang Cinta Yang (Tak) Direstui. Sayangnya, tidak semua bioskop menayangkan film ini. Yang di Bandung termasuk beruntung walau cuma kebagian di BTC dan Miko Mall saja.
Silariang adalah istilah untuk kawin lari bagi masyarakat Bugis. Strata sosial yang masih berlaku di sana, membuat pernikahan antara laki-laki dan perempuan berbeda kelas jadi termasuk tindakan yang menimbulkan aib. Bukan cuma terancam tidak dianggap lagi dari bagian keluarga tapi bisa juga menyulut permusuhan antara keluarga, belum lagi risiko bagi yang nekat menikah. Taruhannya adalah nyawa. Padahal secara materi, kekayaan keluarga Yusuf gak sedikit juga. Tapi mau bagaimana lagi? Yang punya uang tetep aja bisa kalah juga oleh hukum adat.
Silariang adalah istilah untuk kawin lari bagi masyarakat Bugis. Strata sosial yang masih berlaku di sana, membuat pernikahan antara laki-laki dan perempuan berbeda kelas jadi termasuk tindakan yang menimbulkan aib. Bukan cuma terancam tidak dianggap lagi dari bagian keluarga tapi bisa juga menyulut permusuhan antara keluarga, belum lagi risiko bagi yang nekat menikah. Taruhannya adalah nyawa. Padahal secara materi, kekayaan keluarga Yusuf gak sedikit juga. Tapi mau bagaimana lagi? Yang punya uang tetep aja bisa kalah juga oleh hukum adat.
Diperankan oleh Bisma Karisma, Yusuf anak seorang pengusaha jatuh cinta pada Zulaikha (Andania Suri) anak seorang bangsawan yang terpandang. Yusuf yang cinta mati pada Laikha, nekat mengajak gadis yang sangat dipujanya itu untuk kabur dan menikah di tempat lain. Laikha terjebak dilema. Ia harus memilih untuk kabur dengan Yusuf tapi masih takut pada norma keluarga. Tapi juga tidak tega meninggalkan ibunya, Rabiah (Dewi Irawan), yang meyakinkan Laika kalau cinta bisa datang belakangan jika ia menikah dengan lelaki pilihan ibunya.
Bujukan Yusuf berhasil membuat keberanian Laikha naik berlipat-lipat. Mereka berdua pergi menemui penghulu lalu kabur ke sebuah tempat yang dipercaya bisa menghilangkan jejak mereka Di tempat barunya, Yusuf dan Laika menyamar dengan mengganti identitasnya dengan nama baru. Di sini juga mereka mengenal tetangga barunya, Akbar dan Dira yang cepat sekali akrab seakan sudah menjadi keluarga baru bagi mereka.
Tapi sepintar-pintarnya Yusuf dan Laika bersembunyi, jejak mereka tetap saja bisa terendus. Konflik semakin rumit karena bukan saja melibatkan kedua keluarga tapi juga respon dari warga setempat yang tidak menginginkan kehadiran mereka. Lagi-lagi alasannya adalah adat. Padahal sebagai warga, mereka adalah tetangga yang baik.
Setidaknya ada tiga adegan dalam film ini yang sukses bikin saya nangis. Yang pertama adalah sesaat setelah ijab kabul diucapkan. Walau sudah resmi dinyatakan sebagai suami istri, kok rasanya sedih banget ngeliatnya. Oke, tidak masalah ga ada hingar bingar pesta walimahan yang menyertai. Tapi ketidakhadiran keluarga, saudara, teman terdekat bahkan orangtua yang harusnya menyaksikan tidak ada satupun adalah hal yang mengiris hati. Di sini juga saya melihat dari kelompok ulama atau pemuka agama mendudukkan posisi pernikahan lebih pada status hukum dalam agama, bukan secara adat. Tolong koreksi saya kalau salah, ya.
Setidaknya ada tiga adegan dalam film ini yang sukses bikin saya nangis. Yang pertama adalah sesaat setelah ijab kabul diucapkan. Walau sudah resmi dinyatakan sebagai suami istri, kok rasanya sedih banget ngeliatnya. Oke, tidak masalah ga ada hingar bingar pesta walimahan yang menyertai. Tapi ketidakhadiran keluarga, saudara, teman terdekat bahkan orangtua yang harusnya menyaksikan tidak ada satupun adalah hal yang mengiris hati. Di sini juga saya melihat dari kelompok ulama atau pemuka agama mendudukkan posisi pernikahan lebih pada status hukum dalam agama, bukan secara adat. Tolong koreksi saya kalau salah, ya.
Adegan kedua, adalah ketika para orang-orang suruhan Puang Ridwan, pamannya Zulaikha yang berhasil mengejar Laika dan Yusuf. Ada Akbar yang menyadari 'tetangga barunya' dalam bahaya langsung pasang badan menjadikan dirinya sebagai tameng. Sementara Laikha begitu ketakutan bersembunyi di kolong rumah. Ngeri, takut, sedih campur aduk jadi satu. Sementara nun jauh di sana, Rabiah, sebenarnya merasakan kontak batin dengan putri bungsunya itu. Antara sedih dan sebel saya liatnya. Rabiah buru-buru menepis kesedihannya itu dan tunduk pada ritual adat untuk melangsungkan upacara adat penanda putusnya hubungan keluarga.
Saya sempat dibuat tidak mengerti, kenapa baru setahun kemudian baru dilaksanakan upacara adat ini, ya? Mungkin karena posisi Laikha memang baru terlacak setelah sekian lama kabur. Mungkin juga karena pihak keluarga butuh bukti untuk melangsungkan upacara ini. Jadi ga asal menggelar ritual.
Di sisi lain tadinya saya pikir upacara ini akan melahirkan konsekuensi bernuana magis. Ternyata imajinasi saya lebay. Film Silariang ini jauh sama sekali dari aroma film mistis :)
Gimana yang ketiga? Ini yang paling banyak bikin air mata saya menderas. Ga tega untuk menceritakannya, karena bakalan jadi spoil :).
Overall, dari segi peran, ga usah diragukan lagi kalau Dewi Irawan juaranya memainkan ekspresi judes atau datarnya mengungkapkan ekspresi. Boro-boro jadi mertua, jadi ibu kandung pun kok saya merasa kesan yang ga enak. Kaku. Termasuk ketika ia menyelendangkan kain pada Laikha.
Walau pernah bermain untuk film dengan judul yang hampir sama (juga bareng Bisma Karisma) di awal tahun 2017, Andania Suri dalam beberapa adegan masih kurang ekspresif memainkan porsinya. Justru buat saya, pencuri perhatian di sini adalah karakter Akbar dan Dira yang bermain natural dan luwes. Kadang menggelikan juga kadang mengharukan. Jauh dari tipikal tetangga yang menyebalkan. Dalam beberapa scene, setiap melihat Dira, saya jadi ingat sama karakter Novi di film Marlina.
Baca juga Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak
Terkadang saya merasa linu ketika Laikha harus naik turun tangga dengan perut yang membuncit, Pegel iya, belum ngeri membayangkan jatuh kepeleset. Dan masih soal pasangan mamah dan papah muda juga saya sempat dibuat tersenyum ketika Yusuf si anak orang kaya yang ga bisa ngepel lantai atau salah tingkah ketika Dira memintanya mengambilkan air hangat saat Laikha akan melahirkan. Tanpa mengurangi suasana haru, apa yang dilakukan oleh Yusuf adalah hal yang alami dan mungkin saja dialami oleh banyak para papah muda atau juga letupan-letupan kecil ketika mereka berdua bertengkar. Cinta banget iya, tapi kita juga belajar kalau yang namanya cinta banget bukan jaminan pernikahan yang didasari cinta itu bakal bebas dari ketidakcocokan atau berantem.
So you know, padahal belum merit? Tapi kan, saya ngamatin juga dari sekitar, jadi ga asal ngomong. :)
Walau pernah bermain untuk film dengan judul yang hampir sama (juga bareng Bisma Karisma) di awal tahun 2017, Andania Suri dalam beberapa adegan masih kurang ekspresif memainkan porsinya. Justru buat saya, pencuri perhatian di sini adalah karakter Akbar dan Dira yang bermain natural dan luwes. Kadang menggelikan juga kadang mengharukan. Jauh dari tipikal tetangga yang menyebalkan. Dalam beberapa scene, setiap melihat Dira, saya jadi ingat sama karakter Novi di film Marlina.
Baca juga Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak
Terkadang saya merasa linu ketika Laikha harus naik turun tangga dengan perut yang membuncit, Pegel iya, belum ngeri membayangkan jatuh kepeleset. Dan masih soal pasangan mamah dan papah muda juga saya sempat dibuat tersenyum ketika Yusuf si anak orang kaya yang ga bisa ngepel lantai atau salah tingkah ketika Dira memintanya mengambilkan air hangat saat Laikha akan melahirkan. Tanpa mengurangi suasana haru, apa yang dilakukan oleh Yusuf adalah hal yang alami dan mungkin saja dialami oleh banyak para papah muda atau juga letupan-letupan kecil ketika mereka berdua bertengkar. Cinta banget iya, tapi kita juga belajar kalau yang namanya cinta banget bukan jaminan pernikahan yang didasari cinta itu bakal bebas dari ketidakcocokan atau berantem.
So you know, padahal belum merit? Tapi kan, saya ngamatin juga dari sekitar, jadi ga asal ngomong. :)
![]() |
foto: bintang.com |
![]() |
foto: makasar.tribunnews.com |
Bayangkan saja, pasar di sana cuma ada satu kali dalam seminggu, itu pun jarak dan waktunya sangat terbatas. Yang masih ngomel ongkos mahal, cobalah untuk merasakan ke mana-mana harus naik pete-pete dulu lalu disambung angkot dengan durasi yang terbatas.
Tapi selalu ada surga tersembunyi kalau kita bisa melihat dari sisi lain. Sinematografi film ini bisa membuat para penonton menambahkan Makasar dan Pare-pare masuk dalam wishlilst atau itenerary jalan-jalannya. 3,5 dari 5 bintang saya sematkan untuk film ini. It means, recomended, dong.
Terakhir kali saya liaht jadwal di XXI, film ini sudah turun layar. Hiks, sedih. Entah sampai kapan untuk layar di CGV Miko Mall akan bertahan. Kalau masih ada di bioskop terdekat, sempatkan untuk nonton, ya.
Terakhir kali saya liaht jadwal di XXI, film ini sudah turun layar. Hiks, sedih. Entah sampai kapan untuk layar di CGV Miko Mall akan bertahan. Kalau masih ada di bioskop terdekat, sempatkan untuk nonton, ya.