Kalau disebut Kuntilanak, hal yang pertama kali terbayang adalah sosok hantu perempuan berbaju putih, rambut panjang acak-acakan dengan tawa melengking. Sosok hantu perempuan yang paling melekat dalam ingatan saya adalah karakter Mak Lampir dan hantu Suketi (Suzanna) yang pernah populer tahun 80an akhir dengan film Malam Satu Suronya itu. Walau di sisi lain, ada yang bilang kalau Kuntilanak itu berbeda dengan Sundel Bolong (hantunya Suketi). Intinya hantu perempuan yang menyeramkan, buat saya selalu identik dengan sosok seperti ini.
Waktu nonton fim Kuntilanak (2018) bukan cuma menolkan ekspektasi saja saat saya membenamkan pantat di kursi penonton. Menetralkan perasaan termasuk ekspresi ketakutan sebisa mungkin saya lempar jauh-jauh. Demi jaga imej, jangan sampai saya berteriak kencang sendiri (karena kaget) seperti waktu nonton film Pengabdi Setan dulu. Sumpah malunya itu ga nahan.
![]() |
sumber: 21cineplex.com |
Lebaran kali ini, saya menyempatkan waktu untuk nonton film besutannya Rizal Mantovani yang diproduksi oleh MVP Pictures. Menampilkan 5 aktor/aktris anak-anak sebagai tokoh utama, membuat film yang durasinya 105 menit ini memberi pengalaman baru buat saya. Film-film sebelumnya pun sudah banyak menampilkan karakter anak hanya saja kali ini 'pengalaman dari sudut anak' terasa kental sekali dalam film bergenre horor. Bukan ketakutan yang mencekam tapi jadi sebuah petulangan dari 5 anak yang polos, bandel dan penasaran yang mewarnai.
Film dibuka dengan adegan Anjas yang mencari-cari ibunya. Setelah kain putih yang menyelubungi sebuah cermin antik, Anjas mendapati ibunya yang sudah meninggal kembali hadir lalu membawanya pergi ke dunia lain. Adegan berikutnya disusul dengan cerita 5 anak-anak di mana Dinda (Sandrina Michelle) dengan 4 saudara angkatnya yaitu Kresna (Andryan Bima) yang jago bahasa Jawa, Panji (Adlu Fahrezy) yang chubby dan jail, Miko (Ali Fikry) si kutu buku yang penakut, dan si bungsu Ambar (Ciara Nadine Brosnan) harus berpisah selama 3 minggu dengan ibu angkatnya, Donna (Nena Rosier).
![]() |
sumber: youtube |
Seorang mahasiswa bernama Lidya (Aurelia Moeremans) ditugasi untuk mendampingi mereka. Lidya dan kekasihnya, Glen (Fero Walandouw), seorang host acara mistis di tv berniat memberi suprise berupa cermin antik pengganti cermin di kamar Donna yang sudah retak. Belakangan kemudian cermin ini malah menciptakan teror dan mengundang Kuntilanak yang ingin menculik ke-5 anak-anak ini.
Sepanjang pengalaman saya menonton film-film bergenre horor, ada benang merah cerita berupa dendam atau urusan yang belum selesai dari sosok hantu dengan korban yang diterornya. Tadinya saya pikir hantu Kuntilanak ini adalah ibunya Anjas yang entah dengan alasan apa tiba-tiba meninggal begitu saja. Seperti dibilang oleh ayahnya Anjas (Aqi Singgih), kalau itu sudah takdirnya. Oke, di awal saya pikir ada rahasia yang disembunyikan oleh ayahnya Anjas tapi kemudian kesimpulan saya berubah. Sosok ayah Anjas hanya tampil sesekali dalam film malah tidak diincar oleh Si Kunti. Ayahnya Anjas digambarkan sebagai orang gila. Walau dari pakaiannya masih terlihat waras, cuma raut mukanya saja yang lebih cocok jadi penjahat, khas teroris di film-film anak. Sementara kalau sosok Kuntilanak ini iseng, senang menculik anak-anak untuk alasan yang tidak dipahami kecuali membenarkan deskripsinya sebagai hantu penculik anak.
![]() |
sumber: kapanlagi.com |
Terlepas dari kebingungan saya dengan motif Kuntilanak menciptakan teror, saya cukup menikmati pengalaman menonton film ini dari sisi lain. Jump scare yang muncul tidak terlalu berlebihan walau cukup mainstream seperti mimpi buruk atau kemunculan kucing hitam yang mengagetkan. Kejailan anak-anak yang bermain ala-ala tentara yang sedang mengintip target Lidya dan Glen agar tidak pacaran, tantangan sayembara bernilai 10 juta untuk yang bisa membuktikan keberadaan hantu kuntilanak memdominasi adegan demi adegan dalam film ini. Aktingnya Ciara dan Ali Fkiry ini paling sukses mencuri perhatian dan memecahkan tawa. Akting mereka natural, khas anak-anak. I love them!
Ada satu adegan ketika hantu Anjas memberikan beberapa gambar petunjuk (lebih mirip teka-teki) yang harus dipecahkan. Dinda sebagai anak 'gifted' yang paling sering diincar hantu, disusul oleh Miko dan Ambar. Lidya dan Glen tidak terlalu banyak memberi pengaruh pada cerita kecuali insiatif mereka untuk mengganti cermin di kamar Tante Donna.
Yang menarik dari film ini adalah petunjuk paku. Yang pernah menonton film Malam Satu Suro, pasti ingat kalau paku ini seperti tombol on off untuk mentransformasikan sosok hantu. Dulu sebelum menjadi manusia, Suketi ditancapi paku dan berubah menjadi hantu ketika pakunya dicabut. Fungsi paku di film ini jadi berbeda ketika Dinda harus menyelesaikan misinya untuk menyelamatkan saudara-saudaranya dari incaran Kuntilanak. Teka-teki yang kemudian tersisa dalah ada apa dengan ibunya Anjas, dan siapa sebenarnya yang jadi Kuntilanak masih membuat saya penasaran.
Walau tidak terlalu menakutkan seperti film-film horor lainnya, ada beberapa hal yang membekas bagi penonton. Hal-hal yang berbau antik atau tembang jawa berjudul "Lingsir Wengi" mungkin sedikitnya akan membangkitkan sensasi horor saat sedang sendiri di malam hari. Catatan tersendiri buat saya juga kalau sudah berurusan dengan yang antik, kesan mistis kadang membuat saya agak merinding.
Alih-alih menghadirkan sensasi seram setelah menonton, Rizal Mantovani menawarkan sudut pandang tersendiri dalam penggarapan film horor ini. Petualangan anak yang dominan menjadikan film ini lebih menghibur dengan kelucuan anak-anak dibanding muka seram dan jelek dari sosok hantu Kuntilanaknya. Film ini cocok bagi yang penasaran ingin nonton film hantu tapi emoh dengan efek kepikiran takut ke toilet malam-malam sesudahnya.
Skor 6,5 dari skala 10 saya kasih buat film ini.
Skor 6,5 dari skala 10 saya kasih buat film ini.