Sama halnya seperti Amerika atau negara-negara lain di Eropa. Australia, benua yang letaknya paling selatan pada peta dunia ini juga punya keberagaman dalam komposisi demografinya. Pandangan saya soal penduduk Aussie yang beragam ini jadi lebih terbuka setelah nonton The Furnace, film besutan Roderick MacKay.
Seneng banget ga melewatkan kesempatan nonton penayangannya dalam gelaran Festival Sinema Australia Indonesia 2021 beberapa waktu lalu. Sebelum ini The Furnace juga masuk sebagai nominasi film terbaik di Festival Film Venice pada tahun 2020 lalu.
The Furnace mengangkat cerita para penunggang unta (Cameleers) di Australia Barat yang udah ada sejak tahun 1800an. Konflik yang melibatkan berbagai pendatang yang berasal dari berbagai negara di dunia ini timbul ketika mereka berlomba-lomba berburu emas.
Judul Film:
The Furnace
Sutradara :
Roderick MacKay
Penulis Naskah:
Roderick MacKay
Produksi:
Australia (2020)
Cast:
Ahmed Malek (Hanif)
Baykali Ganambarr (Woorak)
Kaushik Dash (Jundah)
Mahesh Jadu (Sadhu)
David Wenham (Mal)
Durasi:
116 Menit
Genre:
Petualangan, Drama, Sejarah
Rating:
Parent Guide
Tokoh utama dari film adalah Hanif, seorang pemuda Afghanistan yang hijrah ke Australia. Di sana ia berteman baik dengan Woorak, seorang penduduk pribumi Australia. Selain Woorak, Hanif punya sahabat orang India bernama Jundah dan Sadhu, seorang penganut Sikh.
Dalam sebuah perjalanan, Hanif dan kawan-kawan bertemu dengan Mal dan mengetahui berita perburuan emas milik ratu yang hilang. Mereka pun lekas bersahabat.
Woorak bersedia membantu Hanif memburu emas yang hilang itu, asal mau menemaninya kembali dulu ke tempat sukuya Woorak tinggal. Hanif dan kawan-kawan tergelitik untuik ikut berburu emas dan terperangkap dalam sebuah konflik di mana setiap orang berlomba-lomba mencari emas yang dimaksud.
Tergoda dengan iming-iming mendapatkan imbalan dari para tentara yang mengumumkan pencarian emas batangan sang ratu yang hilang itu?
Sayangnya bukan. Bukan imbalan yang bikin perburuan itu jadi memanas. Bodo amat dengan hadiahnya. Justru emasnya itu lebih menggiurkan.
Furnace kalau diterjemahkan artinya adalah tungku. Secara tersirat dalam pengamatan saya, the furnace alias tungku ini adalah siasat mereka untuk menghilangkan jejak emas yang hilang dengan cara dilebur dan memecahnya dalam ukuran yang lebih kecil. Lumayan bisa bagi-bagi pula harta karun eh apa jarahannya, ya?
Tapi yang namanya bagi-bagi harta macam gnian, ga sesederhana itu. Nyatanya orang-orang jadi tamak, rakus. Berebut mendapatkan emas itu, bahkan untuk saling bunuh pun ga masalah.
Lewat konflik horisontal yang melibatkan berbagai etnis di sana pada waktu itu,Mackay seakan ingin memperlihatkan bagaimana sifat asli manusia yang serakah demi melihat sesuatu yang berharga seperti emas.
Ada satu adegan ketika Hanif mendapati tungku peleburan emas yang memperlihatkan emas berkilauan berhasil memesona mata. Tanpa sadar saya ngomong "woooow" waktu kilau emas itu memukan tatapan mata Hanif.
Begitulah, kilau dunia, bisa melenakan. Jebakan setan sungguh halus.
Untung saja di film ini ga ada Bang Rhoma Irama. Kebayang ya, kayak gini nanti lagu latar yang tiba-tiba muncul wkwkwk... Khayalan saya bisa melintas benua juga ternyata.
Sudut pandang Mackay dalam film ini berhasil menyajikan banyak insight tentang Oz alias Aussie alias Australia lewat sinematografinya. Bukan saja lewat bentang alamnya yang ternyata punya hamparan padang pasir dan padang rumput, tapi juga keberagaman penduduknya. Ada beberapa adegan para cast di sini ngomong dengan bahasa ibunya masing-masing. Semisal bahasa Aborigin, arab (ketika Hanif baca Quran), bahsa Cina dan bahasa lainnya.
Dari film The Furnace ini saya jadi tau kalau orang Afghanistan dan penduduk Asia lainnya (seperti Cina dan India) juga sudah sampai ke sana sejak lama. Di sana mereka berbaur dengan penduduk setempat atau pendatang lainnya. Walaupun populasinya termasuk minoritas, ternyata Islam udah lama juga masuk Australia. Sudah 150 tahunan kurang lebih. CMIIW, Lama juga, ya
Di awal film saya sempat mikir, apa bisa unta bisa bertahan hidup di sana? Ya abis kebayangnya Aussie itu sama saja kayak Eropa, yang punya empat 4 musim tapi iklimnya ga cocok buat unta. Ternyata saya salah.
Australia bukan soal kangguru, anoa atau hewan khas benua paling selatan di bumi ini. Bukan original made in Aussie memang, tapi ternyata unta juga jadi salah satu hewan yang punya peran sejarah yang penting di sana.
![]() |
Hanif dan Mal |
Ada cerita lucu juga soal unta ini. Waktu itu satu-satunya unta yang tersisa yang Hanif miliki tiba-tiba aja kabur. Lucu liat jalannya yang melenggak lenggok. Kayak cewek lagi pundung. Hanif bengong dan galau. Itu kan, satu-satunya tunggangan yang tersisa. Kebayang lah gimana rempongnya kalau hewan itu menghilang. Hanif dan Mal harus jalan kaki menuju tujuan. Padahal lagi padang savana yang tandusnya bikin haus.
Ternyata mahluk Tuhan bermata lentik itu bukan lagi pundung. Dia mau nunjukin Hanif sesuatu yang membahagiakan. Bukan barang mahal tapi yang dibutuhkan saat itu. Rasanya seneeeeng banget. Emas yang berkilauan pun lewat dari pikiran kalau kita ada di situasi yang Hanif dan Mal alami.
Ngomong-ngomong soal karakter Hanif yang diperankan Ahmed Malek, ini punya cerita menarik. Selesai sesi nonton bareng (waktu itu acaranya dipandu sama Marisa Anita), Mackay cerita banyak hal tentang proses kreatif film ini termasuk latar belakang soal tokoh utamanya.
Di awal film saya mikir rada panjang. Hanif itu orang Afghan, ya? Kok mukanya ga kayak orang Afghan, ya? Beda sama Jundah yang keliatan India banget, Woorak yang yang asli Aussienya jelas atau tokoh lainnya semisal sekeluarga asal Cina yang memang secara ciri-ciri fisiknya udah bisa kita tebak.
Ahmed Malek yang memerankan Hanif adalah adalah seorang aktor muslim asal Mesir yang tidak sengaja ditemukan oleh Mackay lewat googling. Iyes, googling. Jadi bukan lewat casting atau sebelumnya udah disiapkan sejak proses kreatif menulis film ini. Pas ngobrol sama Malek, Mackay merasa klik. Cocok buat jadiin dia sebagai pemeran Hanif.
Sementara pemilihan nama Hanif sendiri diambil dari konsultan seorang muslim yang jadi tempat Mackay berdiskusi mengembangkan alur cerita juga tokoh Hanif ini. Mackay begitu antusias bercerita tentang tokoh Hanif ini. Pantesan, Mackay terasa begitu fasih menggambarkan tokoh Hanif ini, bukan cuma tempelan.
Abis ini bakal ada yang nanya. Kalau mau nonton, ada di mana?
Sayangnya seperti juga film H is for Happiness yang sempat saya ceritakan sebelum ini, The Furnace belum bisa kita temukan di aplikasi film atau diputar di bioskop (mana masih pandemi pula, nih). Mudah-mudahan di lain waktu, ada kesempatan lebih luas buat mengakses nonton filmnya.
So, sementara ini please jangan komentar nanyain di mana flmnya bisa ditonton, ya.
Kalau ngarepin plot flm yang dinamis, kita bakal kecewa. Mackay merangkai alur ceritanya dengan tempo relatif pelan dan fokus pada detil-detil yang pengen nunjukin. ini lho Autraslia. Seperti Woorak sebagai penduduk pribumi sana, bentang alam Aussie yang tadi saya ceritain di atas juga pakaian yang dikenakan oleh para pemain di sini. Mungkin itu salah satu hal yang bikin rata-rata skor di IMDB cuma 6,7.
Kalau Mackay bisa mengemas film ini lebih banyak dialog dalam konfliknya, bukan ga mungkin bisa naik beberapa strip skornya. Saya sendiri mulai antusias di sepertiga akhir film ketika konflik terasa lebih panas. Sepanas gurun yang terekam di layar.
Dari the Furnace, saya diingatkan lagi, konflik timbul bukan karena perbedaan tapi karena kepentingan. Karena kepentingan juga kita bisa bersekutu seperti halnya Hanif dengan Mal atau dengan Woorak dan Jundah. Atau malah berselisih dan saling bunuh. Warna kulit, bentuk mata, pakaian dan lainnya urusan lain.