Kalau ga lagi pandemi, mungkin frekuensi ngopi saya bakal lebih banyak. Ga tiap hari sih. Ini karena saya lebih sering ngopi di luar, di kafe tepatnya. Di rumah palingan saya ngopi dari kopi sachet-an itu. Pas lagi diburu waktu, saat kerjaan harus beres sebelum deadline, saya bakal nyeduh ini buat temen begadang.
Kadang pas siang-siang juga saya bikin kopi seduh ini. Tau sendiri kan. Siang itu jam kritis buat ngantuk. Kalau lihat kerjaan numpuk bawaannya malah pengen nyari bantal. Bukannya diberesin hihihi... Makanya saya butuh kopi. Buat booster biar bisa kelarin semuanya.
Tapi itu tadi, aslinya saya tuh lebih ngopi di kafe. Seringnya bukan buat kerjaan atau sengaja jinjing laptop sambil ngopi. Ngopi itu paling nikmaaat ya disesap sambil ngobrol santai. Bukan sambil mikirin kerjaan. Sambil chit chat ini itu dengan teman. Kalau sendiri ngomong sama siapa coba? Ga lagi halu alias halusinasi, kan?
Nah ngomong soal kopi dan halu saya mau bahas bukunya nih. Dan kebetulan judulnya adalah Halusinasi Kopi. Jadi Kopi bisa bikin halu? Kita bahas, yuk!
Judul Buku : Halusinasi Kopi : Ketika Kopi (Tidak) Selalu Pahit dan Hitam
Penulis : De Laras
Kata Pengantar : Ayu Utami
Genre : Fiksi - Kumpulan Prosa dan Puisi
Cetakan : 1 - September 2020
Tebal : 100 halaman + xiii + sisipan foto
Penerbit : Stiletto Indie Book
ISBN : 978-623-7656-64-7
Sebelum lanjut soal isi bukunya, saya mau cerita soal penulisnya dulu ah. De Laras ini adalah nama pena teman blogger saya, Diadjeng Laraswati. Nama sapaannya ya Mbak Laras. Udah agak lama juga sih saya ga ketemu Mbak Laras, sebelum pandemi itu beliau sempet bikin talkshow di Bandung untuk buku anak yang juga ditulisnya yang berjudul Aku dan Alam Semesta.
Berbeda dengan buku sebelumnya, yang satu ini ngambil segmen dewasa dengan judulnya yang menggelitik. Halusinasi Kopi. Bikin penasaran, kan? Apalagi ada kata pengantar Ayu Utami, penulis buku yang terkenal itu. Wow, ikutan bangga deh, Mbak!
Dimensi bukunya Mbak Laras ni lucu banget, imut, kiyut kayak saya. Seukuran buku saku.Kalau mau dibawa ke mana-mana ini ga ngabisin tempat dan ga tebel amat. Walau gitu Mbak Laras bilang sama saya baca bukunya ga usah buru-buru. Pelan aja. Hmm... ya kayak minum kopi itu ya. Pelan aja dinikmatinya. Gitu.
Dalam buku ini ada 68 kumpulan tulisan pendek dan puisi yang didalamnya ada foto-foto pendukung. Secara visual baik dari luar maupun bagian dalam ini visualnya asik. Memanjakan mata. Pas saya kepoin di dalamnya ternyata foto-fotonya diambil dari berbagai tempat. Bukan cuma foto studio atau di kafe aja.
Selain di Bandung, ada juga kota lain yang jadi latar pengambilannya seperti Uluwatu - Bali, Sumba Nusa Tenggara Timur atau Luzern Swiss, lho. Mbak Laras niat banget ya ngumpulin koleksi foto-fotonya.
Sementara kalau saya moto-moto nuansa kopi ya di Bandung-bandung aja. Paling jauhan, kalau lagi di Jakarta gitu deh (itu pun pas kebetulan lagi ke sana). Baca Halusinasi Kopi ini ternyata bikin saya halu. Kapan saya ke tempat-tempat yang dibilang Mbak Laras di fotonya?
Saya ga bisa bayangin berapa lama inspirasi yang harus dikumpulkan Mbak Laras di bukunya ini. Ada yang isi puisinya seperti mewakili curhatan kita ada juga yang serasa lagi denger nasihat seorang teman. Seperti ini:
"Tenang buka berarti tanpa masalah. Tapi dalam ketenangan, kita dapat mengurai masalah" - hal. 25
Ada kalanya kita akan dihadapkan pada situasi cemas, gelisah, takut atau panik yang membuat kita merasa kehilangan ketenangan. Seperti yang dibilang di petikan di atas tadi, padahal situasi semacam apapun bisa kita selesaikan dengan kepala yang dingin, alias tenang. Jangan sampai keputusan yang kita ambil tercetus karena emosi. Lalu sesudahnya nyesel.
Padahal, nyesel itu suka slonong boy, Ga daftar ujug-ujug aja muncul di akhir. Semacam plot twist film yang nyesek dan bkin sebel. Pengennya direwind aja. Tapi sayang, itu ga mungkin. Berapa kali juga diputar ulang tetap aja seperti itu.
Ada juga cerita-cerita halu yang datang dari kerinduan. Rindu tentnag seorang suami yang sudah lama ditinggal istrinnya yang sudah meninggal, rindunya seorang kekasih karena pujaan hatinya sudah berpaling atau cinta segita macam Sephianya So7 itu. Bikin nyesek.
Kopi juga jadi pengobat luka dalam arti sesungguhnya seperti ketika seorang jurnalis yang meliput sebuah peristiwa demonstrasi atau tulisan-tulisan lainnya yang mengajak kita berjalan lebih jauh ke dalam. Mengenang perjalanan hidup sebagai proses untuk dinikmati, layaknya secangkir kopi yang diseduh. Ia datang dari biji kopi yang butuh proses untuk menguarkan aromanya yang nikmat dan bkin rindu. Serindu kita pada cerita-cerita kopi yang datang dan pergi. Eh kenapa saya jadi melow gini? Ah Mbak Laraaas, saya jadi pengen nyeuh kopi deh setelah nulis tentang ini.
Temen-teman yang suka banget ngopi, yang ngopinya selewatan atau sama sekali ga ngopi mesti baca Halusinasi Kopi ini juga lho. Seperti juga sarannya Mbak Laras sama saya. Bacanya pelan-pelan, seperti kita menikmati secangkir kopi. Dingin atau panas. Robusta atau Arabica. Sachet atau seduhan barista, di rumah atau di mana aja.
Saya ga jamin kalau setelah membaca 1-2 cerita di buku ini jadi menghadirkan kelebatan kenangan kita pada masa lalu. Entah sama siapa, apa atau di mana. Sama kayak saya yang tiba-tiba ingat seorang teman. Kangennya saya sama dia saat ini cuma bisa saya nikmati lewat aroma kopi. Itu sudah lebih dari cukup :)
Yang jelas kenangan itu seperti kopi. Ga selalu pahit. Ada manisnya, kadang ada sepetnya juga hihihi....
Mari kita nikmati kopi sambil menghirup aroma kenangan yang datang dan pergi seperti harum dan asapnya yang mengepul. Gapapa kalau dia pergi. Kan masih ada secangkir kopi berikutnya yang bisa kita nikmati kembali. Mungkin akan ada cerita lain lagi yang akan datang. Ya, kan?