Beberapa waktu yang lalu saya nonton film H is for Happiness dalam rangkaian Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) tahun 2021.
Berbeda di tahun sebelumnya, festival kali ini diselenggarakan secara online. Saya dan peserta lainnya nonton ini secara satu arah. Semacam webinar, nonton ga pake dandan atau baju yang proper pun santai, aja. Lagi masa pandemi, gini saat semuanya serba online, saya jadi males buat dandan hahaha...
H is for Happiness sebenarnya sudah dirilis di negara asalnya, di tahun 2019 yang lalu. Film besutannya John Sheedy, diadaptasi dari novel berjudul My Life is An Alphabet tulisannya Barry Jonsberg. Di film ini Barry juga ikutan main dan berperan sebagai kepala sekolah.
Tokoh utama dari film ini adalah seorang anak perempuan bernama Candice yang diperankan dengan menawan oleh aktor cilik Australia, Daisy Axon.
Berkat tugas dari guru kelasnya, Miss Bamford (Miriam Margolyes), Candice jadi ngulik lebih jauh tentang keluarganya. Candice mengambil huruf H untuk menyelesaikan tugasnya. H untuk Happiness alias kebahagiaan.
Ngomong-ngomong soal panggilan Miss, alih-alih Mrs buat Bu Guru Banford (juga guru lainnya) saya baru tau kalau ini ada sejarahnya.
Dulu guru perempuan itu ga boleh menikah. Apakah ini dulu yang jadi guru adalah para sister di biara? Belum nyari tau lagi soal ini. Yang jelas kalau waktu itu ada yang nikah harus berhenti ngajar.
Untungnya aturan itu ga berlaku sekarang. Kalau mau nikah mh ya nikah aja. Enak ya jadi guru perempuan, jadi awet muda. Dipanggilnya Miss terus. Coba yang guru cowok. Kan tetep aja dipanggil Mr. Walau masih bujang.
Ah ini previledge buat perempuan. Bukan diskriminasi gender. Sapaannya emang gitu. Tapi kalau di Indonesia mah ga sopan ya manggil guru perempuan dengan nona atau mbak. Harus ibu, walau ibu gurunya maih unyu-unyu, fresh graduated. Tetep aja sih ini juga kultur kita untuk menghargai.
Laaaah jadi panjang. Balik ke cerita lagi, yuk?
Sekilas kalau lihat poster film, kita bakal mengira kalau film ini bakal cerita tentang cinta monyet seorang anak sekolah yang masih bau kencur (bentar, di Aussie kalau masak ada yang pake kencur sebagai bumbunya ga, ya? LOL).
Nyatanya enggak gitu. Sahabatnya Candice, yaitu Douglas Benson (Wessley Patten) yang ngaku-ngaku datang dari dimensi lain membuat hidupnya Candice penuh warna.
Entah Candicenya yang kelewat polos atau khayalannya terlalu liar, Candice seneng aja mendengar bualan Douglas. Ditambah Douglas ini adalah satu-satunya teman Candice yang paling setia, yang selalu ada buat Candice dibanding teman-temannya yang suka merundungnya di sekolah.
Enggak, dong.
Good girl!
Iya dong. Candice cuek aja, ngalahin bebek wkwkwk...
Dia fokus sama risetnya tentang keluarga demi memenuhi tugas dari Miss Bamford. Ya ditambah lagi petualangan cinta monyetnya itu sama Dougglas, cowok berkacamata yang sukses bikin hati Candice seperti taman. Selalu berbunga-bunga hihihi
Tugas dari Miss Bamford ini bisa dibilang gampang-gampang susah. Bukan sekedar cerita liburanku di rumah nenek. Candice sendiri merasa sudah sejak lama sudah tidak ada kebahagiaan dalam keluarganya. Hooo... melow....
Tapi dasar Candice yang pecicilan, tugas Miss malah jadi celah buat Candice mencari tahu ada apa dengan keluarganya. Apa sih yang bikin ayah ibunya ga bahagia. Ia selalu punya cara mengorek cerita dri ayah ibunya yang masih belum sembuh dari luka lama. Kepolosan Candice kadang bikin amaze, bagaimana dia bisa mengumpulkan data-data untuk risetnya.
Satu waktu Candice menghampiri ibunya dan menanyakan bagaimana ia bisa lahir. Candice nanya dengan ekspresi penuh minat dan penasaran. Sementara ibunya sampai nangis-nangis bercerita gimana Candice bisa lahir.
Jiwa peneliti Candice membuat dirinya mencari sumber data yang lain untuk menguatkan penulisan. Rich Uncle Brian alias Paman Brian yang tajir melintir malah ngasih persepsi berbeda tentang alasan kehadiran Candice. Sungguh paman idaman!
Ini juga yang bikin Candice jadi lengket sama pamannya, terlepas dari hartanya yang melimpah itu. Keinginan Candice sederhana saja, dia cuma mau bahagia alias happy. Seperti tugasnya.Mencari arti kebahagiaan alias Happiness.
Seklias film ini aman ditonton untuk anak-anak, tapi menurut saya lebih cocok dilabelin 13 tahun ke atas, dengan bimbingan orangtua pastinya.
Ada beberapa adegan di sini yang perlu penjelasan orangtua. Itu cuma adegan film, bukan buat jadi role model atau ditiru. Paling kentara adalah adegan ciuman Candice sama Douglas di beberapa scene. Atau adegan lain seperti ketika Dogulas nekat loncat dari pohon dan Candice yang ujug-ujug terjun ke danau tanpa baju renang.Nyari mati nih bocah.
Waktu nonton bareng tempo hari, setiap adegan ini muncul, pasti selalu dblurkan di layar. Tapi waktu saya lihat di trailer, ada adegan ini bebas sensor. Budaya kita sama di Aussie ya beda sepertinya. Sama kayak di film-film barat, kalau anak-anak remaja ciuman itu ya dianggap biasa aja. Tapi ada satu scene ketika murid di sekolahnya Candice melakukan hal yang sama, mereka kena tegur sama gurunya. Ga boleh!
Ada banyak scene yang bikin saya ga bisa berhenti ketawa. Di satu bagian, Douglas tahu kalau Candice berasa ga pede karena fisiknya belum bertumbuh dan berubah selayaknya abg-bag yang masuk masa puber. Douglas lalu ngasih hadiah sebuah bh dari balon.
Antara pengen nabok tapi juga pengen ketawa. Kurang lebih Douglas bilang gini:
"Kamu bisa ngatur ukuran balon ini, mau segede gimana dadamu"
Kalau saya jadi emaknya Candice udah saya cubit nih anak. Tapi entah kenapa saya pengen ketawa dibuatnya. Dari hadiah aneh dan konyolmya Douglas ini juga membuat kehebohan dan kekocakan di bagian lainnya.
By the way, pernah dengan ungkapan kayak gini, kan? Keharmonisan keluarga itu bisa tercermin dari seberapa sering mereka makan bareng di meja?
Itu yang dilakukan Candice.
Walau ibunya nolak dan bersikeras untuk diem aja di kamar, Candice memaksa ibunya untuk keluar dari mulut gua kesedihan (kamar maksdunya). "Bu, aku dah cape-cape masak 4 jam lho buat bikin ini"
Ah jleb deh liatnya.
Terlepas dari keakraban Candice dan Douglas yang rada melewati limit, film ini punya banyak pesan bagus buat kita sebagai penonton.
Sejak awal nonton film ini saja saya udah tertarik untuk terus nonton sampai akhir untuk dua alasan. Pertama, karakter Candice yang polos dan playfull ditambahkan spontanitasnya yang konyol dan lucu. Kedua, film ini jadi hiburan buat mereka yang wajahnya ga mulus nan glowing. It's ok punya wajah yang ga licin kayak pualam.
Kelihaian aktingnya Daisy membuat kita sebagai penonton jadi abai sama fisiknya. Dan ini kabar bagus buat kebanyakan perempuan yang merasa insecure saban lihat tokoh di film yang aduhai cantiknya. By the way, Daisy tetep centik dengan bintik di wajahnya itu. Kayak gini kesehariannya Daisy di luar film itu.
Habis nonton film ini saya jadi pengen nyari novelnya. Pengennya sih ada yang versi terjemahannya. Kalau baca versi orginal saya bakal sering bolak balik kamus, belum lagi soal alih bahasa yang ga didapatkan dari sub title di filmnya hahaha
Alur film sepanjang kurang lebih 90 menit ini sederhana, sesederhana bagaimana Candice memandang kebahagiaan dan orang-orang di sekitarnya. Kocak dan menggemaskan.Ga heran juga kalau di situs review film, H is for Happiness dapet rating positif, di atas 7.
Saya sempat ngecek di beberapa aplikasi film yang saya punya di hp. Sayang euy, film ini belum ada. Mungkin film-film Aussie harus lebih ekstra untuk bisa diakses lebih banyak penonton di benua lainnya. Saran saya kalau ada kesempatan buat nonton ini, ga usah skip atau mikir lama. Tonton aja. Atau kalau baru nemu bukunya, kasih tahu saya, ya. Dapetinnya di mana? Terutama yang versi terjemahannya alias alih bahasa ke Indonesia. Beneran pengen baca. Seru kayaknya, nih