Setelah beberapa kali digoda (((digoda))) dan penasaran oleh trailer plus obrolan random dengan teman, finally versi layar lebar dari novel dengan judul yang sama keluar juga. Yeah, seneng banget saya. Dilan 1990 yang dibintangi Iqbal CJR dan Vanesha Prescilla bukan saja membuat remaja generasi 90an begitu antusias menanti kehadiran film ini. Waktu nonton filmnya, saya melihat banyak rombongan remaja sepantaran anak-anak SMA dan kuliah juga ikut duduk manis di antara penonton.
![]() |
credit: tabloid bintang |
![]() |
credit: surya malang - tribun news |
Eh Cieeee.... nonton aja udah kayak geer gitu. Apalagi kalau emang bener digombalin Dilan.
Alih-alih menunggu diksi gombalnya Dilan (bisa baca di buku atau googling kan ini mah), mata saya sibuk mencari aneka properti khas di tahun 1990an. Penggambaran suasana 90an di film ini sangat related dengan apa yang pernah saya alami. Misalnya saja rumah-rumah dengan interior dan eksterior jadul, telepon umum pake koin yang harus ngantri kalau mau pake (kelamaan ngobrol sama yang di sebrang biasanya didehemin sebagai kode: "woooi, udahan"), majalah HAI yang sekarang tinggal nama, buku TTS yang suka saya beli buat ngabuburit pada bulan puasa, sampai jaket yang digunakan Dilan dan Milea pun inget betul pernah nge-hive. Rasanya keren dan modis banget kalau udah pake itu ke sekolah Eh tapi, kalau kalian jeli, sebenarnya film ini ada bocornya. Dikiiit, banget. Hayo ada apa yang nyempil waktu kamera menggambarkan suasana di jalan Asia Afrika?
Dilan diceritakan sebagai anak badung tapi pintar dan punya sisi lembut dengan koleksi diksi yang ga ada habisnya untuk merayu Milea. Meme-meme-an semacam Jangan rindu, berat. Biar aku saja. Atau ini nih.. Aku belum mencintaimu ga tau nanti sore, seakan ingin mengajak penonton untuk tidak begitu saja menilai orang dari penampilan luarnya saja. Biar bengal, Dilan itu kayak es krim. Lembut, manis dan bikin meleleh.
Seperti dua sisi mata uang, walau suka melawan guru, sesungguhnya Dilan yang besar di lingkungan keluarga guru juga sangat memuja dan manja pada ibunya yang juga sorang guru. Padahal sejak awal film saya nunggu sisi nakalnya Dilan muncul lebih banyak. Sayang euy, kurang nampol. Well, iya saya tahu kalau Surayah Pidi Baiq ikut terlibat dalam casting dan proses produksi filmnya. Jadi Gambaran karakter dan fisik Dilan udah ngelotok di benaknya si Ayah. Tapi sebagai pembaca novelnya, saya atau yang lainnya juga punya ekspektasi sendiri kayak gimana sih, tampang bengalnya Pardon me, Yah :). But anyway, dari sisi gombalnya itu, Iqbal udah dapat. Saya sendiri ga jamin bakal lempeng kalau ada di posisinya Milea hahaha...
![]() |
credit: upstation.id |
Sepanjang 110 menit, film produksinya Falcon Pictures ini memang lebih fokus menceritakan relationship antara Dilan dan Milea, mulai dari PDKT jadian yang deklarasinya bergaya proklamasi atau perhatiannya Dilan yang ngirim Bi Asih buat mijitin Milea yang lagi sakit. Siapa coba yang ga kelepek-kelepek diperlakukan kayak gini? Tapi kok saya sebel ya pas Dilan nyuruh Milea nyisain kerupuk buat dibekel ke rumah. Sebagai penggemar kerupuk, sepotong kerupuk ga cukup. *Dilan, kamu ga lagi bokek, kan?*
Buat orang keren selevelnya Dilan dan Milea, rasanya flat aja kalau ga ada konflik atau orang recokan dari orang ketiga. Kehadiran orang ketiga seperti pacarnya Milea - yang hmmm apa yaaa? Semacam freak dan obsesif gitu lah, guru lesnya Milea yang malu-malu naksir, Susi yang annoying, atau KM kelas yang juga naksir sama Milea, cuma perkara remeh yang merintangi Dilan mendapatkan hatinya Milea. Alih-alih pukpukin guru lesnya Milea, saya pengen pukpukin KM yang sama-sama bertampang nerd hahaha... At least si KM ini lebih sweet, ga sekaku guru les yang kasih kode ga jelas.
Buat orang keren selevelnya Dilan dan Milea, rasanya flat aja kalau ga ada konflik atau orang recokan dari orang ketiga. Kehadiran orang ketiga seperti pacarnya Milea - yang hmmm apa yaaa? Semacam freak dan obsesif gitu lah, guru lesnya Milea yang malu-malu naksir, Susi yang annoying, atau KM kelas yang juga naksir sama Milea, cuma perkara remeh yang merintangi Dilan mendapatkan hatinya Milea. Alih-alih pukpukin guru lesnya Milea, saya pengen pukpukin KM yang sama-sama bertampang nerd hahaha... At least si KM ini lebih sweet, ga sekaku guru les yang kasih kode ga jelas.
Dominasi romansa antara Dilan dan Milea diselingi konflik seperti ketika hujan batu di halaman sekolah (secara dramatis, Milea bisa melewatinya tanpa secara mulus seperti seorang super hero), atau ketika Milea marah pada pacarnya dan memutuskannya adalah part yang paling ditunggu oleh saya. Emosinya Vanesha lebih dapat di sini. Sayangnya, konflik yang muncul dalam film seakan berlalu begitu saja. Padahal part ini yang bikin mata saya lebih segar :)
Dengan banyaknya kutipan quote atau meme yang bertebaran di lini masa, plus jumlah penonton mencapai 2 juta di minggu pertama sudah menunjukan kalau Dilan 1990 meninggalkan kesan yang impresif. Kalau saja film ini dikasih judul Dilan tanpa embel-embel tahun seperti judul novelnya, saya ngarepin kemunculan tokoh lainnya semisal Remi Moore, banci yang suka ngasih saran-saran bijak, atau momen gimana Dilan sangat terpukul ketika ayahnya meninggal. Tapi sepertinya duet Fajar Bustomi dan Pidi Baiq memang hanya ingin mengeksplor sisi romantisnya pacaran ala remaja SMA di tahun 90an dengan porsi yang lebih dominan. Atau mungkin bakal ada sequel berikutnya?
Tiga dari 5 bintang saya sematkan untuk skor film ini.
Tiga dari 5 bintang saya sematkan untuk skor film ini.