Tadinya waktu lihat trailernya, saya ga punya ekspektasi lebih sama flm Yowis Ben. Semacam pikiran begini : "Oke. Ini film komedi yang isinya hanya tentang film remaja yang sedang mencari jati diri lewat nge-band." Begitu yang saya simpulkan ketika Bayu Skak dan teman-temannya terus berdebat menentukan nama band yang akan mereka gunakan ketika akan menyewa studio.
Dan.... ternyata penilaian saya berubah, 180 derajat. Yowis Ben bukan hanya tentang cerita anak band saja.
Pulang dari sebuah acara di kawasan Sukajadi, saya belain turun ke BIP buat nonton di studio Empire. Ini karena cuma Empire, bioskop terdekat yang memutarkan film Yowis Ben (FYI di Bandung, Yowis Ben hanya tayang di Empire BIP dan Transmart Buah Batu). Waktu nonton, saya datang sendirian, terjepit di antara kerumunan penonton lainnya yang rata-rata berusia kuliahan. Ketika mereka tertawa, suaranya begitu membahana, tapi justeru karena itu saya cuek ikutan ketawa.
![]() |
sumber foto: 21cinepex |
Cerita film diawali dengan 'bullying' yang dialami oleh Bayu (Bayu Skak) oleh Stevia (Devina Aureel) yang cuek membacakan puisi 'pernyataan' Bayu di depan teman-temannya. Stevia yang dicap cucunya Lambe Turah tidak lantas membuat Bayu patah Arang. Masih ada Susan (Cut Meyriska) yang membuat hati Bayu kebat-kebit. Walau dimanfaatkan - yang juga dijuluki si Pecel Boy - plus adanya pesaing Roy (Indra Wijaya), Bayu selalu mendapat semangat dari pamannya (Arif Didu). Akhirnya ia punya motivasi kuat agar mendapatkan pengakuan dari Susan dengan membentuk sebuah boy band.
Bersama Doni (Joshua Suherman) Yayan (Tutus Thomson) dan Nando (Brandon Salim), Bayu sepakat membuat band yang namanya baru terbentuk ketika mereka berdebat saat akan menyewa studio, Yowis Ben. Sudah lihat trailernya, kan? Kita akan memahami kenapa masing-masing dari mereka ngotot, karena memang related dengan latar belakang masing-masing.
Walau belum lama kenal (kecuali dengan Doni), Bayu cepat mendapatkan chemistry dengan teman-teman bandnya ini. Keempat pemain Yowis Ben (harusnya Band tapi diplesetkan jadi Ben yang artinya biarin) punya motif yang sama untuk ngeband. Mereka semua butuh pengakuan karena mengalami krisis percaya diri. Namun ketika Bayu mendapat sinyal dari Susan, kesolidan mereka mulai terusik. Bayu mulai tidak fokus dan membuat teman-temannya frustasi dan emosi. Konflik di sini inilah yang membuat film ini jadi menarik. Sejak awal sampai akhir film, Yowisben konsisten dengan premis film yang dibuat, dan proporsional dalam berbagai unsur pendukung film lainnya.
Walau belum lama kenal (kecuali dengan Doni), Bayu cepat mendapatkan chemistry dengan teman-teman bandnya ini. Keempat pemain Yowis Ben (harusnya Band tapi diplesetkan jadi Ben yang artinya biarin) punya motif yang sama untuk ngeband. Mereka semua butuh pengakuan karena mengalami krisis percaya diri. Namun ketika Bayu mendapat sinyal dari Susan, kesolidan mereka mulai terusik. Bayu mulai tidak fokus dan membuat teman-temannya frustasi dan emosi. Konflik di sini inilah yang membuat film ini jadi menarik. Sejak awal sampai akhir film, Yowisben konsisten dengan premis film yang dibuat, dan proporsional dalam berbagai unsur pendukung film lainnya.
Di awal-awal film saya ga bisa menahan geli ketika Bayu mengenakan batik gonjreng plus gincu agar terlihat seperti boy band ala Korea. Walau ditertawakan, Bayu terus melangkah dalam adegan slow motionnya. Bayu adalah adalah panutan bagi para anak-anak SMA yang merasa minder atau malu dan sering dibully karena kecupuannya. "Dek, buktikan kalian punya sesujatu, maka orang-orang di sekitar kita tidak akan menganggap remeh."
Di bagian lain film, ada juga dialog dua orangtua yang sedang modusin ibunya Bayu atau adegan di toilet sekolah ketika Bayu, Yayan dan Doni sedang berusaha nyembur Nando dengan air yang sudah diberi jampi-jampi. Tapi ada dua part film yang paling epik dari Yowisben yang paling saya suka, yaitu ketika Arif Didu menyebut Via Vallen Rp. 45.000/kg dan pertanyaan lugu Bayu pada Susan, "Leher kamu sakit, ya?"
Janc*k! Umpatan seperti ini akan sering muncul dalam film berdurasi 99 menit yang juga disutradarai oleh Bayu Skak bersama Fajar Nugros.Tidak perlu khawatir kita akan mengalami roaming, kalau hampir 90% dialog film menggunakan bahasa jawa. Ada subtitle yang membantu kita memahami cerita, dan meski lelucon atau becanda di film sangat kental dengan suasana yang 'jawa banget', saya pribadi tidak mengalami semacam gegar budaya untuk memahaminya. Pesan-pesan yang sederhana dan dekat dengan keseharian sangat mungkin sekali terjadi dengan keseharian di wilayah Indonesia lainnya. Saya ikutan ngikik ketika Arif Didu yang gagal fokus tertukar membacakan harga komoditi sembako dengan Via Vallen atau ikutan gemes campur geli ketika scene film menampilkan obrolan para bapak-bapak di warung pecel ibunya Bayu.
Saat ini semakin banyak film Indonesia yang menampilkan lokalitasnya sebagai unsur film. Selain penggunaan bahasa Jawa itu tadi, venue-venue wisata semacam Kampung Warna-warni, Museum Angkut, atau Gereja Hati Kudus atau pecel sebagai kuliner khas yang populer di Jawa tengah, Yogya dan Jawa Timur dalam film Yowis Ben ini. Soal varian pecel rasa spagetti, pizza atau burger mungkin bisa jadi insight bagi yang ingin membuat sajian pecel lebih kreatif. Berani coba?
Tema cerita yang sederhana namun kemasan yangsegar dalam alur cerita dan dialog-dialog didalamnya membuat Yowisben ini saya kasih 3,8 dari 5 bintang. Belum lagi penataan musiknya yang apik. Setelah nonton ini, saya jadi terngiang-ngiang terus lagu Ga Iso Turu yang jadi salah satu pengisi film itu. Pokoknya, kalian harus nonton, ya.