Review Film Terbang: Dibalik Kesuksesan Onggy Hianata

Hak merdeka adalah hak segala bangsa. Familiar dengan kata-kata ini? Iyes, itu kutipan dari salah satu ayat dalam UUD Dasar 1945.  Masih ingat, kan? Terus kalau saya bilang setiap orang berhak punya mimpi dan cita-cita gimana?  

Setiap orang pasti punya mimpi. Ada yang benar-benar berusaha mewujudkannya, ada yang tampak tidak peduli, membiarkan hidupnya mengalir begitu saja. Diantara mereka yang mempunyai mimpi yang besar itu pun jalannya tidak selalu mulus. Ada yang jatuh bangun tertatih-tatih lalu melesat, sebagian lagi memilih untuk menyerah dan memilih jadi orang yang biasa-biasa saja.

Beberapa waktu yang lalu saya pernah baca bukunya Jaya Setiabudi yang berjudul The Power of Kepepet. Intinya begini. Seperti per yang ditekan. Makin ditekan, makin melejit. Coba kalau punya alat tulis yang ada pernya, silakan praktikan. Saya jadi keingetan ini setelah nonton film Terbang beberapa hari yang lalu.


Onggy Hianata alias Achun (dimainkan oleh Dion Wiyoko) lahir dari keluarga etnis Tionghoa. Di tempat tinggalnya di mana ia tinggal bersama kedua ayah ibu dan saudara yang banyak, hidup terasa sulit. Bukan hanya himpitan ekonomi saja, posisinya sebagai warga keturunan bukanlah situasi yang menguntungkan hidup dan besar di jaman orde baru.  Bahkan untuk sekolah saja, Achun harus merajuk.  Di sekolahnya, Achun tidak serta merta bisa menikmati bangku sekolah. Di sana ia harus menghadapi bully-an teman-temannya, kecuali salah satunya saja yang membela Achun.

Saat melihat adegan ini saya jadi teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Saat itu saya sedang sakit dirawat di sebuah rumah sakit dengan kamar kelas tiga. Ada beberapa pasien yang satu ruangan dengan saya. Salah satunya adalah pasien tabrak lari yang beretnis Tionghoa. Pelaku tabrak lari memang bertanggungjawab. Beliau datang  untuk menyelesaikan permasalahannya. Salah satu obrolan dari keluarga korban dengan pelaku tabrakan itu masih saya inget. Kurang lebih seperti begini, "Bu, jangan pikir semua orang Cina itu kaya. Hidup kami ini susah."

Dulu, saya punya tetangga beretnis Tionghoa. Kondisi ekonominya tidak bisa dibilang cukup. Jauh dari gambaran mapan. Tapi dari banyak kasus yang saya temui, saudara-saudara kita yang keturunan  Tionghoa ini punya kesamaan. Mereka itu ulet dan kuat untuk hidup perih.  Sama seperti yang diajarkan ayahnya Achun, (Chew Kin Wah) yang selalu menanamkan nilai-nilai budi. Saat makan malam bersama, masih ada yang belum lengkap maka yang lain harus menunggu. Di lain waktu, walau hidup dengan segala keterbatasan, Achun didorong untuk selalu punya mimpi. Dan hanya Achun saja yang nekat menempuh perjalanan  ke Surabaya, meninggalkan ibu dan saudara-saudaranya di kampung halamannya, Tarakan.

Di Surabaya ini babak kehidupan baru Onggy dimulai. Bersama teman-teman kost-annya Onggy merintis jalan mencari rejeki mulai dari berjualan apel, jagung bakar sampai kerupuk. Onggy mengalami jatuh bangun merintis usahanya sampai kemudian ia bertemu dengan Candra (Laura Basuki) hingga menikah dan pindah ke Jakarta. Mimpi-mimpi Onggy masih harus tertunda bahkan ketika ia dihadapkan pada situasi kerusuhan Mei 1998 di mana etnis Tionghoa pernah mengalami situasi terancam.

Selama 111 menit, lewat filmnya Fajar Nugros mengajak penonton untuk mengenal lebih dekat sisi lain kehidupan orang-orang seperti Onggy. Seperti dalam salah satu scene ketika Onggy bilang pada salah satu kakaknya "Kita orang Indonesia, keturunan Cina." Selama ini kan, masih ada pendapat yang membedakan mereka dengan orang Indonesia lainnya. Di bagian lain, Solihin salah satu teman kost-annya melerai perselisihan di antara mereka dan mengingatkan walau asal mereka  berbeda (Sunda, Medan, Papua dan Cina) semuanya sama-sama orang Indonesia.

Part lain dalam film ini ketika mereka menikmati nasi goreng dengan sambil ngobrol dengan pedagangnya pun seakan ingin menunjukan, "hei ini lho Indonesia". Kita bisa duduk  bareng dan hidup berdampingan. Tidak usah berantem. Menariknya walau pernah melerai perselisihan, Solihin yang fans berat Persib tidak bisa akur dengan temannya Togar, pendukung setia PSMS saat kedua tim kesayangan mereka bertemu. Part ini juga sukses membuat saya atau penonton lainnya yang suka menyaksikan pertandingan sepakbola jadi tersenyum dibuatnya.

Akting Dion Wiyoko sebagai Onggy tampak kentara paling memukau dibanding lainnya. Saat ia menangis sambil makan kerupuk adalah bagian terbaik. Di sisi lain, ketika banyak orang sedang merasa frustasi, banyak yang kehilangan selera makan. Saya pikir adegan ini ingin menunjukkan kekesalan Onggy dengan situasi sulit yang dihadapinya. Seakan-akan dengan melumat kerupuk itu, semua kesusahan yang menyebalkan bisa ikut lebur juga.

Kalau ada yang melihat orang sukses di puncaknya, saya yakin itu bukan hasil yang instan. Ada proses yang dilaluinya. Hanya saja sampai di akhir film saya masih bingung sebenarnya selain (dulunya) menjadi karyawan dan jualan, Onggy ini profesinya apa, sih? Baru kemudian setelahnya saya googling dan mengetahui dunia yang digeluti Onggy Hianata yang sekarang mengantarkannya sebagai orang yang sukses. Onggy berhasil terbang menembus batas, meenerabas sekat-sekat kesulitan yang pernah menghimpitnya. Titik balik yang dialami Onggy menuju kesuksesan kalau dieksplor lebih dalam mungkin akan lebih menguras emosi bagi penonton yang menyaksikannya.








Post a Comment

1 Comments