Review Film Sajen: Teror dari Korban Perundungan

Bagi yang pernah tinggal atau tumbuh di lingkungan yang kental dengan budaya sunda, lagu Cing ciripit  mungkin sudah familiar di telinga. Bahkan setelah belasan atau puluhan tahun tidak menyanyikan lagu yang biasanya jadi pengiring permainan petak umpet atau ketangkasan jari tangan  dari tangkapan  telapak yang menangkupi jari-jari yang bermain, rasanya lagu ini tidak akan lupa. Ga ada yang spesial kecuali mungkin mengingatkan kenangan masa kecil kita dulu. Masih hafal kan liriknya? Begini nih:

Cing ciripit tulang bajing kacapit
Kacapit ku bulu pare
Bulu pare  seuseukeutan
Jol Pak Dalang mawa wayang...
Jek jek nong....

Tapi tunggu dulu. Rasa dari lagu ini bisa jadi berbeda kalau sudah menontom Film Sajen yang dibintangi oleh Amanda Manopo, Minati Atmanagara, Rachel Amanda dan cast lainnya. Ada nuansa horor,penasaran dan bahkan lucu yang saya rasakan. Kenapa bisa gitu?


Jadi begini.
Lagu Cing Ciripit sempat   mengusik ketenangan Ibu (Nova Soraya) dari Alanda (Amanda Manopo) yang bersedih setelah ditinggal suaminya meninggal (entah karena apa). Saya pikir ada yang aneh dengan ibunya Alanda.  Tapi ternyata sebentar saja, tiba-tiba saja ibunya Alanda kembali menemukan semangatnya. Seolah-olah kesedihannya ditinggal suami menguap begitu saja. Di sisi lain, Alanda, murid yang pintar dan kandidat penerima bea siswa tengah menghadapi masalah serius di sekolahnya (Sekolah Pelita Bangsa). Tadinya ia hanya jadi saksi, menyaksikan  tindakan perundungan (bullying) yang dilakukan oleh Bianca (Steffi Zamora) dan teman-temannya, Alanda nekat merekam ulah Bianca and the ganknya itu yang akan dijadikan bukti sebagai usahanya menghentikan perlakuan Bianca yang entah memiliki kekuatan dari mana bisa leluasa melakukan tindakan itu.

Apa yang Alanda saksikan sebenarnya bukan hal pertama kali. Beberapa tahun sebelumnya sudah ada korban lainnya yang meninggal akibat perundungan itu. Teror hantu yang menangis di toilet, sajen yang selalu tersaji dengan dupanya yang menyala di loker perpustakaan dan kursi kosong (plus kacamata) di ruang komputer juga jadi penanda. Di tiga titik itu,  ada korban yang hantunya masih gentayangan.  Padahal para perundungnya sudah ga ada di sana alias lulus. Eh iyakah? Yakin? 

Satu waktu, kamera Alanda dirampas Bianca. Alanda dijebak Bianca dan Davi pacarnya Alanda (Jeff Smith). Ia boleh mengambil kameranya ke rumah Davi.  Di sana, Alanda bukannya mendapatkan kembali kameranya. Ia dijebak minum alkohol,  kemudian video jebakannya itu viral dan menggemparkan sekolah. Alanda yang tidak tahan dengan kecaman sekolah, cacian guru dan bahkan sahabat-sahabatnya yang tidak berdaya mengalami depresi dan memutuskan untuk bunuh diri. Di sinilah teror dimulai. Alanda mengincar para perundungnya untuk membayar  semua kesedihan dan kemarahannya. 


Sependek ingatan saya, ini kali pertama saya menonton film horor produksinya Starvision. Bukan genre yang biasa digarap seperti yang dilakukan oleh beberapa rumah produksi lainnya. Tapi sebenarnya Starvision sudah pernah memproduksi film bergenre horor ini beebrapa tahun silam.

Kembali ke film Sajen, sejak awal diputar saya cukup terhibur dengan tone film yang cerah. Ini  memberi saya harapan film ini akan memanjakan penonton selama 90 menit menyaksikan film besutannya Hanny R Saputra. Kan, biasanya film-film horor selalu identik dengan nuansa suram dan kelam gitu, ya..  Cukup intimidatif  buat penonton yangga  biasa nonton film horor. Sah-sah aja juga kan, kalau ada film horor yang tonenya cerah begini.  Ga ada yang melarang.

Di sisi lain, seting sekolah dengan gedung dan propertinya yang wah, kostum  yang mewah (menunjukkan mereka berasal dari  keluarga the have), dan wajah-wajah cantik plus ganteng bisa jadi daya tarik tersendiri untuk menyedot penonton.  Sayangnya mereka yang the have itu mannernya buruk.  Kalau muridnya semacam Bianca suka merundung dan mengintimidasi teman-temannya, guru di sana (yang diceritakan di sini hanya ada dua orang saja)  terkesan ambisius, masa bodoan dengan apa yang terjadi dengan anak-anak didiknya. Sekolah elit ga selalu berbanding lurus dengan kualitas SDMnya.

Waktu nonton film ini, seorang remaja di samping saya beberapa kali berseru senang saat wajah innocent Riza  (Angga Yunanda) muncul di layar. Sekilas, Angga ini mengingatkan saya pada aktor Tommy Kurniawan. Di lain waktu, masih penonton yang sama, dedek emesh ini lebih memilih bersembunyi di balik punggung temannya sambil sesekali berkomentar atau melemparkan prediksi apa yang akan dilakukan karakter di film ini. Kadang di tengah teror jump scare, kalau ada teriakan, celoteh dan reaksi lainnya dari penonton jadi hiburan tersendiri buat saya. Lumayan, sekadar menurunkan ketegangan. Yang satu ini saya toleransi, deh hahaha.... Padahal kalau pas nonton film lainnya saya suka merasa kesal terganggu dengan gumaman penonton. 

By the way, walau dilabeli film horor, sebenarnya film ini kurang serius memompa adrenalin penonton. Dalam satu scene, ketika terdengar tangisan misterius di bilik toilet, film Sajen mengurungkan kejutan yang akan disuguhkan. Seolah mau bilang gini, "Weeek, belum waktunya kaget. Sabar, yaaa" Kan nyebelin.  Kagetnya tertunda, nanggung. Kejutan berupa kedatangan hantu-hantu memang akhirnya datang, walau lebih dominan sekadar penampakan. Sementara itu hantu utamanya, Alanda memilih cara tersendiri untuk meneror korbannya. Ada yang dibuat cepat mati, ada juga yang dijadikan mainan, dibuat mati pelan-pelan atau jadi stres. Semacam balas dendam karena sudah memperbaikan Alanda sewaktu masih hidup. Ga puas kayaknya kalau balas dendam gitu korbannya langsung mati.

Kalau teman-teman Alanda seperti Keyra dan Riza tidak berdaya untuk membongkar misteri yang terjadi, lain halnya dengan Ratu (Rachel Amanda), seorang staf perpusatakaan yang dibuat penasaran melihat sajen dan tentu saja ibunya Alanda.  Tadinya saya pikir Ratu dan seorang penjaga sekolah yang suka wara-wiri di film   ini bakal jadi pemain kunci untuk membongkar misteri yang terjadi di Sekolah Pelita Bangsa selama bertahun-tahun. Sikap tertutup dari pihak Sekolah yang direpresentasikan oleh  Minati Atmanagara  (sebagai Bu Tanya) dan satu guru lainnya membuat usaha Ratu tertahan. Sayang euy, porsi peran yang dikasih untuk Amanda memainkan karakter Ratu ini kurang maksimal, selain kepo-an dan jadi tukang tissue.

Setiap nyanyian Cing Ciripit terdengar, bersiaplah untuk  menutup muka, sekadar menahan pekikan kaget atau menutup mata dari teror hantu Alanda. Kalau boleh saya bilang, jump scare yang diciptakan tidaklah sehoror film-film  hantu lainnya, walau dari segi make up lumayan nyebelin dan menakutkan. Di sisi lain, ketegangan penonton sedikit terurai dengan gelak tawa saat Bu Tanya berhasil mengusir hantu Alanda dengan timpukan ATK. Kok hantunya ga bisa berkelit, ya? Kalau di film lainnya, nih atk harusnya lolos begitu saja, karena mahluk seperti Alanda ini kan sudah berpindah dimensi.  Part  lainnya yang cukup menghibur dari Bu Tanya adalah tampang judes, arogan, dan masa bodoannya bikin saya teringat karakter antagonis yang menyebalkan di sinetron.

Kalau saja digarap lebih serius, film ini akan lebih menghibur dan menyajikan hal yang baru. Semisal pendalaman kasus perundungan di Sekolah, kejelasan misteri 3 korban perundungan sebelumnya dan jatah lebih maksimal memainkan peran yang diberikan untuk tiga karakter yaitu: Ibunya Alanda, Ratu (dan mungkin pacarnya) serta penjaga sekolah itu tadi, lalu  penguasaan lafal lagu yang lebih nyunda yang disertai penguatan karakter lokal dari lagu itu akan membuat saya memberikan skor yang lebih tinggi untuk film Sajen ini.

Jadi berapa skor yang saya kasih untuk Sajen?  Hmmm.... saya kasih 2,5 dari 10 bintang saja, ya.  


Post a Comment

3 Comments

  1. Kujadi penasaran karena temanya soal perundungan. Nice review, Fi.

    ReplyDelete
  2. Film horor lagi menjamur sekalii ya sekarang..

    ReplyDelete
  3. Hiks...saya ga berani deh nonton film horor. Asli..

    ReplyDelete