Review Film Lima: Refleksi Sila-sila Pancasila


"Biar saja, dosanya kami yang nanggung, Pak." 

Begitu kurang lebih ucapan Farra yang diperankan Prisia Nasution ketika wajah-wajah bingung di upacara pemakaman ibunya saat meliha Aryo (Yoga Pratama), adiknya yang berbeda agama ikut turun ke liang lahat menurunkan jenazah ibunya.

Tadinya, saya kira konflik di awal film yang nyerempet isu sensitif itu akan bergulir terus berputar dalam konflik soal perbedaan keyakinan. Farra memeluk keyakinan yang berbeda, dimana ia tetap memeluk agama Islam, agama dari ayahnya dan dipeluk ibunya di akhir hayat. Sementara Aryo dan Adi (Baskara Mahendra) adalah penganut nasrani.  

Dugaan saya meleset. Alur film yang disutradarai oleh Lola Amaria dan 4 sutradara lainnya yaitu,  Shalahuddin Siregar, Tika Pramesti,Harvan Agustriansyah, Adriyanto Dewo masing-masing menceritakan kasus yang merefleksikan sila-sila dari Pancasila. Ngomong-ngomong soal sila Pancasila,  masih pada ingat, kan?

sumber gambar: idbookmyshows.com
Dalam durasi film sepanjang 110 menit,  masing-masing kelima sutradara ini membesut konflik yang sudah jadi keseharian yang kita saksikan.  Perbedaan keyakinan seperti yang diceritakan di awal film adalah paling sering kita temui. Mulai dari yang kasus sederhana sampai ribut-ribut di media sosial dan merembet ke dunia politik. Pusing sebenarnya memerhatikan huru-hara di media sosial. Kenyataannya, saya berkawan baik dengan teman-teman yang berbeda agama dan pandangan politik. Apapun keyakinan yang dipegang, saya memilih untuk tidak menjadikannya sebagai topik diskusi. Cukup jadi pemerhati saja soal headline atau timeline medsos yang bikin gerah.  

Kalau diperhatikan, babak awal film yang diproduksi oleh Lola Amaria Production ini pun akan melahirkan penafsiran yang berbeda. Well, saya simpan sendiri pendapat saya, ya. Tidak untuk dishare di sini.  Yang mau saya kasih high light di sini adalah ternyata konflik di awal film ini kemudian seakan selesai begitu saja.  Babak kedua film dan berikutnya mempunyai permasalah yang berbeda namun masih melibatkan Farra dan adik-adiknya dalam lingkarannya masing-masing. 


Di babak kedua Adi menjumpai ketidakadilan yang ditemuinya di sekolah atau di jalanan, pada babak ketiga Farra mengendus aroma konspirasi sentimen etnis dalam profesinya sebagai pelatih nasional untuk olahraga renang. Lalu Aryo, si tengah mengalami konflik dalam bisnisnya dengan partner  yang menggambarkan sila keempat dan pada bagian terakhir, asisten rumah tangganya yang kemudian menjadi tokoh utama, menggambarkan sila ke lima. Saat menyaksikan bagian ini, penonton akan kembali memutar ingatan soal kasus putusan pengadilan yang tidak adil soal kasus pencurian di sebuah perkebunan besar.


Dalam sebuah artikel yang dilansir oleh liputan6.com Lola Amaria mengonfirmasi kalau film Lima ini bukanlah film Omnibus alias kumpulan cerita. Di satu sisi film ini memang tetap melibatkan Farra dan adik-adiknya dalam setiap cerita yang diangkat (dari sila satu sampai lima) namun saya merasa kalau penyelesaian konflik seakan mengambang atau dianggap selesai begitu saja. Seperti ada benang merah yang hilang yang seharusnya menjadikan rangakain utuh dari satu cerita ke cerita berikutnya. 

Di luar cerita pertama soal keyakinan, eksplorasi konflik seperti ketika Farra dan anak-anak yang dilatihnya di pelatnas atau menyebalkannya bisnis yang digeluti Aryo mengalami pasang surut mungkin akan terasa lebih menarik dan menguatkan klimaks film. Tapi, kalau satu persatu konflik dijabarkan lebih detil tentunya film ini akan menyita waktu lebih dari film-film ala bollywood yang durasinya aduhai, perlu ketabahan untuk mengikutinya sampai habis. Karena Lola Amaria memang  ingin merefleksikan sila-sila dari Pancasila tanpa melewatkannya satu pun, kerja kerasnya bersama 4 sutradara lain patut diapresiasi sebagai upaya untuk menyampaikan pesan film terkait isu-isu yang sebenarnya dekat dengan keseharian kita.

Lima dari 10 bintang saya sematkan untuk film ini. Semoga ke depannya apa yang menjadikan perbedaan dalam waktu-waktu mendatang tidak membuat suhu perkawanan di dunia nyata atau virtual alias media sosial tetap kondusif. Dari pengalaman yang sudah-sudah, Piala Dunia atau ajang olahraga seperti Asian Games yang sebentar lagi bergulir adalah warna lain yang menjadikan beranda media sosial lebih adem untuk bertukar cerita dan pendapat tanpa harus ribut-ribut.  

Saya percaya kok, sense of belonging atau rasa memiliki yang tingi terhadap tanah air orang-orang Indonesia itu masih tinggi dan mudah mencairkan perbedaan. Kita sama-sama bersorak gembira ketika lagu Indonesia Raya berkumandang atau ikut merasa sedih ketika atlet  timnas kita tertunduk lesu dan berseru geram saat melihat tindaan curang seorang pemain bola yang tertangkap kamera. Ya, kan?

Post a Comment

4 Comments

  1. Ulasannya bagus, Mak. Ngalir dan ndalem. Membahas soal-soal yang terasa rumit dalam pandangan hidup lantas diilmkan, lalu oleh Mak Efi dirangkum.
    Saya suka itu, analitis yang kritis.
    Yah, meski kita beda namun mestinya tetap satu di Nusantara ini. Rasa cinta pada Indonesia dengan cara menjaga kerukunan dalam beragam perbedaan. :)
    Salam kenal.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya tersanjung mbak :) Hal yang bikin media sosial jadi kurang asik karena kita ga bisa woles menyikapi perbedaan. Padahal hidup kita aja udah ribet, kok sayang gitu ya ngurusin remeh temeh orang lain

      Delete
  2. Kyaaaaaa aku belum nonton mba Ef, tapi bakalan jadi wishlist penasaran juga.
    Beberapa udah nangkpe nih cerita, semoga dunia perfilman Indonesia semakin baik dalam membuat cerita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, ga selamanya film yang beredar harus tentang love melulu kan, ya

      Delete