Review Film Sultan Agung, Ksatria Berhati Brahmana

Selalu menarik kalau menilai watak orang. Ya dari gerak-gerik, pilihan kata atau isyarat tubuh lainnya yang sekilas saja. Dia itu orang baik? Tulus, ga?  Oportunis? Atau maksud lain yang belum kita pahami.

Sama seperti waktu saya nonton Film Sultan Agung yang baru saja rilis tanggal 23 Agustus 2018 ini. Dibawah besutannya Hanung Bramantyo, durasi film sepanjang 148 menit yang naskahnya ditulis Mooryati Soedibyo, Ifan Ismail, Bagas Pudjilaksono jauh dari kata jenuh buat saya mengikuti babak demi babak. Apalagi saya memang selalu tertarik dengan film-film berlatar sejarah, ditambah  dengan gaya kolosalnya bikin saya betah sampai menit terakhir.
review film sultan agung the untold story

Di awal film, diceritakan kalau Sultan Agung remaja yang bernama Raden Mas Rangsang (Marthino Lio) adalah seorang santri di Padepokan milik Ki Jejer (Dedi Sutomo). Di sana dia punya punya sabahat bernama Kelana yang kelak versi dewasanya diperankan oleh Teku Rifku Wikana. Di Padepokan Jejer, Rangsang tertambat hatinya pada Lembayung (Putri Marino). Cantik,  jago bela diri dan punya otak yang cemerlang.
review film sultan agung the untold story
Marthino Lio, RM Rangsang muda (sumber: https://mooryatisoedibyocinema.co.id)

Dilema kemudian menghampiri RM Rangsang. Ia harus meninggalkan padepokan, melanjutkan nasibnya seperti yang sudah diramalkan untuk menjadi Sultan. Kalau boleh memilih, ia lebih suka menjadi Brahmana, bukan menjadi Ksatria seperti yang sudah digariskan dalam takdirnya.  Ngomong-ngomong soal golongan brahmana, karena Sultan Agung adalah seorang muslim, maka status sebagai brahmana juga bisa diartikan sebagai ulama. Selain harus meninggalkan padepokan, RM Rangsang (peran dewasanya dimainkan oleh Ario Bayu) juga harus melupakan Lembayung dan manut menikahi Ratu Batang (Anindya Putri).

Misi pertama Sultan Agung berjalan mulus ketika menghadapi utusan VOC. Caranya mengambil senjata mereka - yang diklaim sebagai alat pertahanan diri mereka - begitu diplomatis. Dalam  ramalan versi Sunan Kalijaga,  saudagar VOC masuk dalam kelompok Tuca, golongan rendah petama dalam golongan masyarakat pada masa itu. Dibawah Tuca, masih ada kelompok lain yang paling rendah (duh maafkan saya lupa istilahnya). Rendah bukan karena strata sosial atau secara ekonomi, tapi karena komitmen. Apakah punya kesetiaan yang tinggi pada kerajaan atau lebih memilih jadi  penghianat, bersekutu dengan VOC.

Golongan terakhir ini yang menarik, karena banyak dari mereka berada di lingkaran terdekat  Sultan Agung. Dalam film ini posisi mereka digambarkan samar. Bukan plek terlihat jelas menjadi seorang penjilat, atau penghianat. Misalnya saja Tumenggung Notoprojo (Lukman Sardi). Di mata saya, ia lebih  seperti  seorang safe player, bukan untuk dirinya sendiri tapi juga lebih memikirkan nasib rakyat, alih-alih mendukung pengerahan pasukan untuk mengepung Batavia yang diperintahkan Sultan Agung.
review film sultan agung the untold story
sumber: jakrtakita.com
Notoprojo bukan satu-satunya orang dalam lingkaran kekuasaan yang memusingkan Sultan Agung, sampai-sampai ia pernah curhat pada ibunya Gusti Ratu Banowati (Christine Hakim).  Konflik yang memusingkan Lembayung Dewasa (Adinia Wirasti) juga melibatkan kakaknya, Seto dan Kelana (Teuku Rifku Wikana). Penonton jadi punya tafsiran tersendiri. Mengapa seseorang bisa berubah haluan atau tetap konsisten dengan kesetiaan dan pilihannya, termasuk bagaimana sikap Sultan Agung sebagai pemimpin. Di mata saya, Sultan Agung adalah seorang pemimpin yang visioner, kehilangan banyak pasukan, direcoki konflik internal dan masalah lainnya tidak menyurutkan pendiriannya.
review film sultan agung the untold story
Lukman Sardi sebagai Tumenggung Notoprojo sumber: https://mooryatisoedibyocinema.co.id
Ada banyak adengan yang emosional dan berkesan buat saya. Semisal pertemuan Lembayung dengan kakaknya setelah penyerangan benteng  Belanda (ngomong-ngomong pas adegan ini jadi keingetan film Troy), pertemuan Sultan Agung dengan Jan Pieterszoon Coen  atau penutup film yang dilatari lagu Lir-ilir.  Peralihan babak ke babak yang mudah dicerna,  ditambah tata musik dibawah arahan  Tya Subiakto membuat film ini berakhir dengan manis. Membuat rasa nasionalisme kita jadi membuncah.

By the way, JP Coen itu punya peran penting menjadikan Batavia (yang sekarang kita sebut Jakarta) sebagai pusat pemerintahan. Sejak dulu, semasa Belanda masih menjajah. Tapi pada akhirnya, dari dua pemimpin yang paling visioner buat saya adalah Sultan Agung. Meski harus menderita kekalahan, Sultan Agung sudah menyampaikan sinyal pada Belanda, tidak semudah itu mengalahkan nusantara walau belum bersatu.

Setelah menonton film ini, saya jadi penasaran mencari tahu lebih banyak tentang Dipati Ukur yang pernah membantunya dalam penyerangan ke Batavia (di kemudian hari Dipati Ukur dianggap jadi pemberontak),  Wabah kolera yang menewaskan JP Coen, juga mengapa lidah orang-orang Indonesia mengeja namanya  jadi Murjangkung atau makna lagu Lir Ilir yang notasi nadanya terdengar mirip dengan lagu Ya Thoybah. Film Sultan Agung sukses bikin saya kepo maksimal dengan fakta-fakta sejarah yang potongan ceritanya diangkat ke film ini.

Fakta sejarah memang tidak bisa semuanya diangkat ke dalam film. Tapi dari penuturan film, akan memancing kita untuk mencari tahu sejarah lebih banyak. 8,5 dari 10 bintang buat film ini saya sematkan.  Kalian harus nonton, lho. 


Post a Comment

1 Comments