Jaman SMA kelas 3 sampai kuliah dulu, sinetron Keluarga Cemara adalah acara yang paling saya tunggu-tunggu. Sinetronnya sederhana tapi punya kenangan yang nempel banget di benak saya.
Terimakasih emak...
Terimakasih abah...
Mentari hari ini berseri indah...
Ini salah satu penggalan lirik dari OST sinetron yang juga ga bisa saya lupain selain intronya yang ini lho
"Harta yang paling berharga adalah keluarga...."
Waktu tau film Terimakasih Emak Terimakasih Abah dengan profil Emak (Novia Kolopaking) dan Abah (Adi Kurdi) yang menghiasi poster film, saya jadi terpanggil buat nonton filmnya di bioskop. Kangen saya sama keluarga Abah ini udah membuncah. Nonton filmnya semacam reunian Keluarga Cemara setelah belasan tahun menghilang dari layar kaca.
Selain kehadiran anggota keluarga baru seperti Nurani, Budi dan Ceria, anak angkatnya Emak (Cut Ashifa), tidak banyak perubahan yang terjadi dengan anggota keluarga di rumah Abah. Yang berubah mereka sudah tumbuh dewasa dan menua. Rumah kecil Keluarga Cemara dengan dinding bilik bambunya adalah model rumah di kampung halaman yang bikin betah tinggal berlama-lama di sana. Tokoh-tokoh utama yang main di sini juga masih pemain lama versi sinetron, Kita sebagai penonton serasa memutar tombol waktu.
Beneran nostalgiaan ini mah.
Masih mengambil seting di Sukabumi, film besutan Dedi Setiadi ini menceritakan cita-cita Nurani yang diperankan Novia Syahrani yang berjualan pisang goreng untuk nambah biaya perayaan ulangtahunnya. Nurani dibantu oleh adiknya, Budi (Azka Dimas) berjualan di terminal.
Abah yang udah pensiun dari narik becak ikutan riweuh menyiapkannya. Namanya juga kakek, 'nyaah dulang' (curahan sayang yang melimpah melebihi orangtua kandung) bikin Abah ngotot kerja serabutan demi cucunya itu. Sayangnya kesehatan Abah yang udah menurun ditambah sudah tidak bisa lagi melihat malah merepotkan orang lain, terutama Emak (Novia Kolopaking). Iis (Ceria Hade) alias Euis yang sudah jadi single parent juga ikutan sibuk kerja lembur demi nyari uang tambahan untuk merayakan ulangtahunnya Nurani. pokonya semua ikutan riweuh demi Nurani.
Biaya 900 ribu dapat dari mana? tanya Budi
Ya kerja dong, jawab Nurani.
Untuk keluarga sederhana seperti Abah uang 900 ribu ini bukan uang sedikit. Saya rasanya kayak ketampar ketika Abah jatuh bangun kerja serabutan hanya untuk mendapt upah yang cuma puluhan ribu saja.
Hari ini sudah bersyukur belum? Rasanya seperti ada yang berbisik gitu. Pelan tapi kayak sambil dicubit.
Di luar ibu, emak dan abah, tante-tantenya Nurani tidak bisa banyak membantu karena sudah punya kesibukan sendiri. Ara (Anisa Fujianti) dan Gigi alias Agil (Pudji Lestari) juga bergulat dengan problemanya masing-masing.
Ara yang sudah menikah dengan Pras (Dimas Aditya) punya masalah rumah tangga, sementara Agil yang tampaknya punya prospek masa depan cerah ga semudah itu mendapatkan restu emak untuk menikah dengan Doni (Rezky Aditya). Padahal nih, Doni ini plek ketiplek copy pastenya Abah banget. Cinta pertamanya Gigi pada Abah yang melekat, membuatnya berharap Doni ini bakal jadi suaminya.
Doni ini adalah tipe cowok paket lengkap. Baik, ganteng, perhatian dan tajir. Makanya, Gigi klepek-klepek dibuatnya, malah Doni juga cepat cair sama keluarganya Gigi. Gigi berharap banget bisa menikah dengan Doni.
Tapi buat menikah ga cukup dengan cinta.
Firasat seorang ibu yang kuat membuat Emak bilang Enggak. Drama antara ibu dan anak terasa sekali di sini. Baik itu ketika Emak menghadapi Gigi yang masih polos soal cinta, Iis yang jungkir balik lembur demi membahagiakan Nurani atau gimana sayangnya Emak pada Ceria walaupun hanya seorang anak angkat.
Sepanjang 115 menit, film produksi Alimi ini terasa menonjolkan karakter seorang ibu yang dominan. Iis yang jadi single parent dan emak yang punya tanggung jawab mengurus Abah yang mengalami kebutaan jadi benang merah yang kuat di film ini. Emak begitu tegar ngurus Abah yang bandel dan berkali-kali nyaris membahayakan dirinya, tapi di lain waktu Emak juga bisa bilang terserah dengan caranya.
Emak juga punya selera humor. Saya dibuat ngakak ketika Gigi protes menyamakan Doni dengan badak bercula satu sebagai mahluk langka. Becandaan garing yang pada masanya sukses mencairkan kekesalan. Kalau saya jadi Gigi dan ga lagi galau dan melow, juga bakal ketawa ngakak.
Begitu juga dengan Iis, yang punya obsesi menyenangkan Nurani tapi digambarkan rapuh dan mudah tertekan atau Madame Pierre (Wina Zulfiana) sebagai seorang kaya yang angkuh dan suka riweuh ngatur kehidupan orang lain. Amit-amit jangan sampai nemu yang seperti ini.
Eh jangan salah, dengan keterbatasannya saat ini, Abah juga punya cara sendiri buat mengekspresikan kasih sayang dan naluri seorang ayah untuk melindungi keluarganya. Mungkin caranya Abah bikin gemes dan worry tapi Abah bakal patah hati kalau ia merasa tidak berguna.
Konflik yang dibangun sederhana tapi tanpa terasa di beberapa part bikin sudut mata saya jadi rembes, pengen nangis. Kerinduan saya sama lirik "harta yang paling berharga..." itu jadi terbayarkan dengan lagu Mimpi Paling Nyata yang muncul berkali-kali jadi backsound di film ini.
Karakter suara Novia Kolopaking yang melankolis rasanya ngeblend, jadi nyawa dengan lagu dan pesan yang disampaikan film ini. Lirik lagunya bisa merangkum dan mewakili suasana yang kita dapatkan.
Satu persatu konflik di film ini bisa terurai dengan cara yang menghangatkan hati. Sehangat pelukan emak yang dirindukan anak-anaknya, sehangat kasih sayangnya Iis yang tulus menyayangi dan membahagiakan Nurani dan Budi.
Ya ampun, sambil ngetik ini potongan adegan-adegan di filmnya kayak diputar ulang di benak saya. Rasanya lagi ada di situ, merasakan kebahagiaan keluarga yang sederhana ini.
"Dalam suka duka Setia bersama
Mensyukuri berdoa iklhas menerima
Saling menguatkan saling memaafkan
Penuh rasa cinta tulus kasih sayang"
Ah udahan dulu. Saya jadi melow nih... Kalau punya kenangan sama Iis dan keluarganya yuk urunan cerita di komentar