Review Film Kembang Api (2023)

Bunuh diri buat orang yang sudah sangat putus asa mungkin adalah jalan penyelesaian paling instan. Bagi mereka masalah yang dihadapi akan segera usai, tanpa peduli apa yang akan dirasakan oleh orang-orang yang menyayangi mereka setelah maut datang menjemput. 

Seperti itu juga yang dirasakan para watak yang saya tonton di film Kembang Api yang beberapa waktu lalu. Sebegitu beratnya masalah mereka, tapi mereka juga tidak tahu bagaimana mengakhiri kematian. Mereka berharap kematian  tanpa dibarengi sakit. Sebuah kematian yang berakhir indah.  

Empat orang dalam film ini sepakat untuk bersama-sama mengakhiri hidup. Donny Damara sebagai Fahmi menjadi inisiator untuk membuat kembang api sebagai media yang akan dijadikan sarana bunuh diri bersama.

Sebuah tempat yang mirip gudang disepakati untuk meeting point sekaligus yang nantinya akan jadi tempat kejadian perkara setelah misi mereka berhasil.  Fahmi dan ketiga teman-temannya yang punya tujuan sama ini punya nama samaran di mana ia sendiri menyamar dengan alias  Langit Mendung. Lalu datang saling menyusul Raga si Anggrek Hitam  (diperankan oleh Ringgo Agus Rahman), Tengkorak Putih atau Sukma (Marsha Timothy) dan si bungsu yang kenes sekaligus paling bawel, Anggun yang diperankan dengan menawan oleh Hanggini.

Sebelum  bunuh diri dimulai,  Langit Mendung menjelaskan properti dan prosedur yang akan mereka jalani lengkap dengan filosofi dan alasan kenapa bunuh diri  mereka menggunakan kembang api yang penampakannya mirip bola dunia itu.  

Dari sisi penonton, bola dunia yang nantinya bakal meledak itu tidak memberi kesan sakit dan menyeramkan. Too good to be true kalau bola besar  lucu  itu  yang akan mengantarkan keempatnya menuju kematian. Itu juga yang diceritakan oleh Langit Mendung lewat kata-kata bijak yang tersemat di balon itu. Urip Iku Urup.  Hidup itu harus indah. 

So sentimental, ya? Hdup mereka terasa mengenaskan tapi menyematkan kata-kata itu sebagai salam terakhirnya. Yes, mereka ingin kematian mereka pun terasa indah. Setidaknya di saat-saat terakhir ada hal indah yang akan mereka dapatkan. 

Tapi boro-boro terpesona, penjelasan Langit Mendung yang terlalu panjang membuat ketiga temannya jadi gemas dan kesal. Mereka pengen segera meledak bersama. Sementara saya udah mulai gelisah aja. Kalau mereka mati, terus nanti selanjutnya alurnya bakalan jadi gimana? Dengan seting tempat dan tokoh utama yang cuma empat orang itu saya sempat khawatir kalau filmnya akan berjalan BORING.

Makanya, waktu Langit Mendung menekan detonator peledak, saya ikut menarik napas. Habis ini mereka mau ngapain? 

Ternyata mereka tidak mati. Tubuh mereka selamat, dan calon TKP pun masih mulus lengkap dengan properti bunuh diri mereka, kembali utuh.  Di sini mulai lah saya exciting. Entah apa yang terjadi, setiap mereka berusaha menekan tombol peledak, mereka kembali ke tempat itu, serupa konsep time loop. 

Awalnya baru Fahmi si Langit Mendung itu yang menyadari ada yang ga beres dengan rencana bunuh diri itu. Ketiga temannya sempat tidak percaya dengan omongan Fahmi dan menudingnya mengada-mengada. 

Diskusi diantara keempatnya jadi membuka alasan kenapa mereka ada di sana. Sesuatu yang awalnya mereka tidak mau tahu. Tapi karena kesal mau mati aja susah, mereka jadi saling menyalahkan satu sama lain. Anggun yang paling muda dan bahkan ketika datang pun ekspresinya paling ceria dan antusias dianggap jadi penghalang rencana mereka. Anggun tentu saja tidak terima dengan tudingan para seniornya. Emang kenapa kalau masih muda? Ga boleh gitu ada masalah?  Mulai lah pertengkaran mereka jadi menarik untuk diikuti hahaha


Film arahan Herwin Novianto yang naskahnya diadaptasi oleh Alim Sudio dari 3 Ft Balls and Souls ini perlahan mengundang cekikikan saya dan penonton lainnya di studio. Mereka berempat berakhirnya mulai curhat satu persatu apa yang membuat mereka ingin bunuh diri bersama. 

Alur cerita yang agak repetitif  tapi  dikemas dengan konsep time loop ini seakan menggambarkan campur tangan Tuhan. Biar segimana pun inginnya seseorang mau mengakhiri hidup, kalau malaikat Izrail belum turun SKnya ya ga bakalan mati.

Saya jadi ingat pernah baca sebuah berita. Udah lama. Kalau ga salah lokasinya di luar negeri. Jadi waktu itu ceritanya ada seseorang yang mau bunuh diri dengan cara loncat dari gedung yang tinggi. Yang terjadi kemudian, seseorang yang saya lupa Mas apa Mba ini (muehehe) malah ga mati. Tubuhnya menimpa pejalan kaki yang kebetulan lewat di bawahnya. Yang meninggal justru pejalan kaki itu yang tertimpa. Sementara Sese-Mas atau Sese-Mbak ini tubuhnya sehat-sehat aja. Cuma lecet sedikit.  Saya bukannya kasian sama yang ga ajdi bunuh diri tuh orang lain jadi korban. Pengen nyubit deh ah.

Buat yang mau bunuh diri tapi ga jadi mati itu silakan saja dia merasa hidup ga adil dan dunia begitu kejamnya pada dirinya yang membuatnya hilang semangat. Tapi dia mikir, ga  sama korban yang kena timpa tubuhnya tadi? Gara-gara dia, keluarganya meninggal. Walau kalau ada yang bilang itu sudah waktunya, dan kebetulan ada di 'sana' tapi cara dan bagaimananya itu melibatkan dirinya yang ga jadi mati.

Balik lagi ke film Kembang Api ini. Durasi 1 jam 44 menit film ini ga jadi bikin saya bosan. Pencahayaan seting film yang hangat dan menangkap dengan jelas ekspresi keempat tokoh ini ditambah keributan yang dibumbui dengan kelucuan mereka  bikin saya betah untuk bertahan sampai akhir. Dari perspektif orang lain yang ga ada sama sekali kepentingan dengan niat bunuh diri mereka, saya pun punya persepsi berbeda-beda sama mereka.  Masing-masing masalah dari Fahmi, Raga, Sukma dan Anggun memang berat setelah mereka curhat.

Saya juga bukan Tuhan atau tukang sulap yang bisa sim salabim, masalah loe beres.  Ga gitu. Tiap orang juga punya masalah dan perjuangannya masing-masing.  Tapi, mereka harus tau, kalau ada orang lain yang ada di sekitar mereka, yang peduli dan mau membantu. They just have to speak up. Inget ga kasus bunuh diri artis yang hidupnya baik-baik saja dan kelihatannya sempurna? Misalnya Kurt Cobain, vokalisnya Nirvana, atau Tommy Page yang maslah dia punya lagu  berjudul A Shoulder to Cry On, Chesternya Linkin Park dan pesohor lainnya. 

Kadang mereka yang punya masalah butuh teman curhat bukan untuk dikata-katai, digurui dan semakin disudutkan semacam, ah cemen loe, gitu aja.  Mereka cuma butuh telinga untuk mendengar keluh kesahnya. Di saat-saat tertentu, mereka ga tau lagi harus ngapain.  Semua masalah terasa pelik dan membuat mereka ingin segera berakhir dengan cara bunuh diri. Film Kembang Api ini punya cara unik dan ringan mengemas mental health yang sering dianggap sepele tapi buat yang ngalaminya itu sebuah masalah besar. 

Kalau dibanding versi Jepangnya saya sendiri belum nonton. Kalau sudah nemu film versi awalnya nanti bakal saya tulis juga buat perbandingan baik dari sisi cerita, akting dan teknis lainnya. Sejauh ini, meski awalnya sempat terancam membosankan, tek tokan diantara keempat tokoh ini memuat suasana gudang yang tadinya akan jadi saksi bisu sebuah petaka kematian menjadi seting cerita yang hidup. Dan itulah kelebihan nomor satu dari film ini yang saya catat. Walau ga bisa termehek-mehek dengan kisah sedihnya, saya tetap terhibur. Sepertinya Kembang Api ini memang sengaja mengemas cerita terasa ringan untuk dicerna penonton tanpa harus ikut menangisi kesialan atau keputus-asaan.

Teman-teman sudah pernah nonton film ini? Atau versi Jepangnya? Yuk, cerita

Post a Comment

0 Comments