Review Film Ketika Berhenti di Sini

 Apa rasanya kalau lagi sayang-sayangnya sama seseorang ternyata ga bisa bertahan lama karena orang itu pergi? Sedih sudah pasti. Tapi tiap orang meresponnya dengan penerimaan yang berbeda.

Seperti  itu juga reaksi yang ditunjukkan oleh Dita saat mengetahui orang yang dicintainya (Ed) ternyata secepat itu meninggalkannya. Cerita kehilangan ini jadi lebih menarik dengan adanya sentuhan teknologi Augmented Reality dalam film Ketika Berhenti di Sini yang rilis 27 Juli 2022 lalu.

Film ini dibuka dengan perkenalan Dita (Prilly Latuconsina) dengan Ed (Bryan Domani) di sebuah tempat servis tablet milik Bang Zali. Ed seorang arsitek muda yang ternyata stalkernya Dita dengan mudah mendapat perhatian Dita dan keduanya lekas jatuh cinta. 

Love is blind mungkin berlaku di awal kisah mereka. Segalanya berjalan sempurna bagi Dita. Ed adalah orang yang tepat, yang paling ngerti maunya Dita, pikiran dan perasaan Dita. Bahkan sampai mengabaikan Ifan yang sudah lama untuk Dita. Entahlah, apakah Dita yang kurang peka, Ifan yang kurang tegas menyatakan atau Ed seperti seseorang yang menekan hot button-nya Dita.  Lalu cinta bersemi secepat itu.

Eit tapi tunggu dulu. Peribahasa seperti witng tresno jalaning sokokulino  ternyata tidak berlaku utuh bagi mereka. Sayangnya Dita kemudian memudar setalah tahun demi tahun berlalu. Dita merasa Ed berubah. Ed ga peka, Ed ga ngerti maunya Dita. Mungkin Dita yang demanding? Sebelum ia menyadari sikapnya itu, Ed tiba-tiba meninggal dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan penyesalan yang mendalam buat Dita.

Dita belum siap kehilangan Ed. Andai Dita bisa memutar waktu, menghidupkan kembali sosok Ed yang terlanjur ia sayangi.

Ketika berhenti di Sini adalah film besutan kedua dari sutradara muda Umay Shahab setelah sebelumnya film yang juga dibintangi Prily berjudul Kukira Kau Rumah dirilis tahun lalu (2022).  

Bukan cuma kebetulan kalau pemeran utama wanitanya adalah Prily, kedua film ini juga punya pendekatan psikologis dengan isu mental health dalam konflik tokoh-tokohnya. Masih dengan sentuhan ala-ala anak senja, secara pribadi saya lebih menyukai film keduanya Umay ini. Bagaimana konflik di film ini dan alur cerita terasa lebih mengalir dan dinamis dengan tempo yang tidak membosankan. 

Buat orang-orang yang senang dengan penyampaian ide yang lugas dan to the point kayak saya, Ketika Berhenti Di Sini tidak membuat saya harus berhenti sejenak untuk menikmati menit menit demi menit film bertutur.  Selain itu gagasan  film ini yang memberikan unsur teknologi augmented reality (AR) adalah ide yang menarik di antara film-film Indonesia lainnya.

Kembali ke cerita. Dita yang sesungguhnya sayang pada  Ed dan menyesali kepergiannya, seakan mendapat kesempatan kedua untuk bersama lagi bersama kekasihnya itu meski dalam bentuk hologram saja. Dita merasa menemukan lagi sosok Ed menjadi hantu dalam versi digital. Masifnya aplikasi AI di dunia maya seakan menjelma pada sosom Ed ini. Ada saja solusi yang disodorkan seperti ketika kita mengetikan kata kunci dikolom peramban.

Saya jadi inget serial lawas Quantum Leap di mana Sam Becket yang melompat ke dimensi ruang dan waktu selalu ngobrol dengan sejawatnya Al. Cuma mereka yang bisa saling melihat meski tanpa bisa bersentuhan. Cara yang sama juga dilakukan oleh Dita dan Ed lewat bantuan kacamata sebuah 'warisan' yang jadi benda kesayangan bagi Dita. 

Adegan di film Quantum Leap. Sam sama Al lagi ngobrol di bar. Ga ada yang bisa lihat Al kecuali Sam
Kacamata Virtualnya Dita. Inget ga, dulu zaman hebohnya kacamata 3D buat nonton tv? 

Ke mana pun dan ngapain, lewat kecamata itu Dita asik menemukan dunia barunya. Dita terlalu asik sampai mengabaikan orang-orang di sekitarnya.  Dita lupa kalau Ed itu ga nyata. Bagi sebagian orang Dita bukannya sedang healing dengan rasa kehilangannya, tapi semakin halu alias tidak realistis. 

Dita larut dalam euforia dengan sosok Ed yang baru. Ia  lupa kalau orang-orang di sekitarnya seperti Oma juga kehilangan Ed tapi menanggapinya dengan penerimaan yang sudah ikhlas. Berbeda dengan Dita yang seakan move on tapi sesungguhnya sedang denial. Teman-teman juga keluarganya merasakan Dita sudah ga beres. Dita terkurung dalam dunia virtual, terhisap dalam kebucinannya pada Ed.

Lewat sebuah gawai bernama tablet, konflik ini dibuka. Mengenalkan Dita pada Ed,  bersambung pada kisah cinta lalu menggiring Dita untuk memutuskan hubungan anehnya dengan Ed lewat kehadiran seorang Bang Zali.  

Ketidaksiapan Dita dengan perginya Ed membuka tabir luka lama Dita yang terkuak tiba-tiba di seperempat cerita. Jika Oma dan Ibu dibuat lelah dengan sikap Dita, Ifan adalah sosok true love Dita yang memegang kunci utama untuk menarik Dita kembali ke dunia nyata sekaligus mengurai kembali luka lama yang belum tuntas itu.  Mungkin sebagian dari kita juga pernah ada di posisi Dita yang susah move on dan mengabaikan seseorang yang selalu ada. Atau sebaliknya, seperti Ifan. Diabaikan tapi memilih tetap bertahan. 

Ngomongin soal kunci ini, di sini saya sempat berpikir, Ed begitu cerdas (atau kebutulan?) menyiapkan segalanya bukan saja mendesain kacamata virtual yang jadi 'warisan' itu tadi tapi juga sebuah amanat yang berestafet hingga sampai ke tangan Ifan. Tapi pikiran saya keburu teralihkan dengan adegan berikutnya di layar. Saya jadi  sibuk menahan bendungan yang merembes dari sudut mata.

Entah saya yang tipikalnya realistis atau kurang relate dengan posisi Dita yang kehilangan Ed (mungkin karena gemes lihat Ifan yang dicuekin alih-alih bersimpati dengan kehilangan Dita yang berlarut-larut itu). Namun, film ini malah sukses mengorek kerinduan saya dengan sosok Apa (bapak saya) hingga memaksa bendungan di kelopak mata saya jebol dan membiarkan buliran beningnya menganak sungai semakin deras. Butuh sekian menit untuk segera beranjak dari kursi penonton dan menyadari filmnya sudah selesai.

Sambil mengetik tulisan ini perlahan mata saya seperti tersengat sesuatu yang panas dan mencairkan kerinduan yang menghadirkan penyesalan. Andai saja waktu itu, andai saja  begini dan begitu. Mungkin perasaan yang sama juga dialami oleh sebagian besar penonton lain yang satu studio di sana.

Percayalah, rasa sayang itu memang akan terasa menyesakkan saat kenyataan menampar kita dalam sebuah ketiadaan. Pilihannya cuma satu. Mau terus terhanyut ataukah melanjutkan langkah? 






Post a Comment

0 Comments