Apa sih yang terbayang kalau ngomongin India?
Selalu saja yang nyangkut duluan itu tentang inspektur Vijay yang selalu datang terlambat ke tempat kejadia perkara, nyanyi-nyanyi yang tipe suaranya serupa suaranya Oma Elia Kadam dengan koreografi berjamaah yang gampang kepancing kalau ada hujan, lapangan atau pohon. Pas adegan jogetnya itu, selalu saja tiba-tiba ada serombongan orang yang entah dari mana datangny, ujug-ujug nimbrung ikutan nyanyi. Misteri yang belum terpecahkan buatku, Ada yang bisa kasih kasih penjelasan, ga?
Saking banyaknya adegan joget, sekian taun aku tuh ogah nonton India yang dalam bayangan stereotipnya kayak gitu. Nangis, joget, inspektur polisi yang rese dan semacamnya. Dulu, sih. Sekarang ga anti film India kok. By the way, udah pernah nonton film keren Padmavati, belum? Coba baca tulisanku tentang filmnya di:
https://www.resensiefi.my.id/2018/01/review-film-padmaavat-ratu-cantik-dari.html
Saking banyaknya adegan joget, sekian taun aku tuh ogah nonton India yang dalam bayangan stereotipnya kayak gitu. Nangis, joget, inspektur polisi yang rese dan semacamnya. Dulu, sih. Sekarang ga anti film India kok. By the way, udah pernah nonton film keren Padmavati, belum? Coba baca tulisanku tentang filmnya di:
https://www.resensiefi.my.id/2018/01/review-film-padmaavat-ratu-cantik-dari.html
Balik lagi ke India, ya.
Lupa aku tuh gimana bisa tau tentang buku Titik Nol yang ditulis Agustinus Wibowo. Pendeknya, dari beberapa repost yang wara-wiri di facebook bikin aku kepincut untuk membacanya. There! Akhirnya nemu juga buku itu di Gramedia. Wiiiih mayan tebel ternyata. Bisa dijadiin bantal tidur malah hahaha.
Terus dibaca?
Iya, dong. Cuma ga segitunya tamat dalam waktu sesingkat-singkatnya. Perlu waktu lama buat mengkhatamkannya. Sekitar 3 tahunan mah adalah hahaha. Lama banget, kan?
Penilaian pertama tentang India dari buku Titik Nol yang aku baca itu, mereka adalah orang-orang yang jorok, (kayak bau pesing di mana-mana atau lingkungan yang kumuh), mata duitan dan 'beukian' kata orang sunda mah alias libidonya yang tinggi. Dalam satu part yang aku baca Agustinus Wibowo pernah digrepe-grepein seorang laki-laki India (kalau ga salah pemilik penginapan), terus pernah mergokin orang India yang melakukan masturbasi dalam kereta, yang mana cairan air maninya muncrat ke mana-mana. Hueks..... Jijay, kan? Enggak banget pokoknya, mah.
Penilaian pertama tentang India dari buku Titik Nol yang aku baca itu, mereka adalah orang-orang yang jorok, (kayak bau pesing di mana-mana atau lingkungan yang kumuh), mata duitan dan 'beukian' kata orang sunda mah alias libidonya yang tinggi. Dalam satu part yang aku baca Agustinus Wibowo pernah digrepe-grepein seorang laki-laki India (kalau ga salah pemilik penginapan), terus pernah mergokin orang India yang melakukan masturbasi dalam kereta, yang mana cairan air maninya muncrat ke mana-mana. Hueks..... Jijay, kan? Enggak banget pokoknya, mah.
Wait.
Dalam kenyataannya memang banyak yang menemukan fenomena kayak gitu. At least dari cerita teman-teman yang pernah maen ke sana. Meski begitu, dalam kenyataannya ya pasti ada sisi baiknya, lah. Segimana nyebelinnya India, ada aja kok sisi eksotismenya yang entah gimana bisa menghipnotis turisnya. Contoh gampangnya ya itu industri film Bollywoodnya yang sempat fenomenal di Indonesia (terutama tahun 90an gitu, MNC TV yang dulu namanya TPI saban hari muterin film India, sampe bosen!).
Dalam kenyataannya memang banyak yang menemukan fenomena kayak gitu. At least dari cerita teman-teman yang pernah maen ke sana. Meski begitu, dalam kenyataannya ya pasti ada sisi baiknya, lah. Segimana nyebelinnya India, ada aja kok sisi eksotismenya yang entah gimana bisa menghipnotis turisnya. Contoh gampangnya ya itu industri film Bollywoodnya yang sempat fenomenal di Indonesia (terutama tahun 90an gitu, MNC TV yang dulu namanya TPI saban hari muterin film India, sampe bosen!).
Bukan Hanya Tentang India
Sebenarnya Titik Nol ga melulu bercerita tentang India saja, sih. Walau porsi halamannya emang banyak banget. India cuma sebagian tujuan Ming (panggilan Agustinus Wibowo) untuk mengejar mimpinya menjejak ke banyak tempat di dunia. ia pernah kuliah ke Cina, lalu bercita-cita jalan ke Afrika lewat jalan darat. Sempat terdampar di Tibet, terombang ambing di Kashmir (perbatasan India-Pakistan yang sejak tahun 1947 jadi wilayah konflik perebutan kekuasan), dan menemukan romantisme keramahan orang-orang Afghanistan, yang negerinya acak-acakan diusik perang saudara yang ga beres-beres. Pendek kata, Agustinus Wibowo jatuh cinta sama kawasan Asia Tengah ini.
![]() |
sumber: everylifecounts.ndtv.com |
Eksotisme vs Modernisme
Dulu aku pikir traveller itu cuma ngabisin duit keliling dunia. Menikmati kulinernya, mengabadikan pesonanya dengan foto-foto yang eksotis dan terlihat keren. Sisi lain dari traveller yang berkebalikan ada Backpacker yang jalan-jalan juga dengan modal irit, makan dan tidur di penginapan yang murah dan hal lainnya yang serba sederhana. Demi menyelamatkan budget untuk bertahan hidup, memenuhi list itenerary yang ingin dipenuhi.
Semakin lama semakin membaca buku ini, aku jadi mikir kalau menjelajah dunia bukan perkara segimana kerennya seseorang sudah mengunjungi banyak negara. Ya keren tiap orang bisa beda, ya. Anyway, let me finished my review, please :)
Sempat tertunda sekitar dua tahunan (iya beneran gitu) aku tergoda untuk menamatkan buku ini.. Ga tau kenapa, pokoknya harus tamat ini. Dan ternyata lebih dari sepertiga buku ini bisa kuselesaikan dalam waku kurang dari seminggu. Jadi sebenarnya kalau niat, aku tuh bisa kok beresin baca buku ini dalam sebulan. Duh nyesel jadinya kenapa ga dari dulu beres bacanya, ya?
Pernah terpesona ga sama tulisan, foto, atau liputan lainnya tentang belahan dunia yang masih 'perawan'. Terus pada bangga-banggain. Nih kawasan ini masih alami, belum tersentuh perubahan zaman yang modern. Masih menyisakan keindahan dunia yang menguarkan aroma alam yang susah dijamah, diciumi aromanya.
Terus aku jadi berasa nyesek gimana jatuh bangunnya penduduk desa di Nepal yang harus naik turun gunung membawakan perbekalan turis biar bisa makan enak di puncak gunung. Atau jalanan di Pakistan yang terjal, kelokan yang curam yang diintip batu sebesar rumah yang kapan saja bisa menggelinding menghantam mobil lewat, air yang susah payah dicari pun baunya ga enak, atau untuk mandi air hangat pun harus mengumpulkan kotoran hewan agar bisa menjerangnya.
Hiks, bukan kah di sisi lain kita sering merasa sedih kalau di negeri ini masih ada kawasan yang jalanannya belum beraspal? Kampung-kampung yang masih suka dikepung banjir, kebakaran hutan dan peristiwa alam lainnya yang menyulut sumpah serapah mengapa pembangunan infastruktur belum merata? Ya jauh banget ya kalau mau bandingin dengan keindahan kota klasik macam Venesia di Italia misalnya.
Pernah terpesona ga sama tulisan, foto, atau liputan lainnya tentang belahan dunia yang masih 'perawan'. Terus pada bangga-banggain. Nih kawasan ini masih alami, belum tersentuh perubahan zaman yang modern. Masih menyisakan keindahan dunia yang menguarkan aroma alam yang susah dijamah, diciumi aromanya.
![]() |
sumber: https://www.himalayaheart.com |
Terus aku jadi berasa nyesek gimana jatuh bangunnya penduduk desa di Nepal yang harus naik turun gunung membawakan perbekalan turis biar bisa makan enak di puncak gunung. Atau jalanan di Pakistan yang terjal, kelokan yang curam yang diintip batu sebesar rumah yang kapan saja bisa menggelinding menghantam mobil lewat, air yang susah payah dicari pun baunya ga enak, atau untuk mandi air hangat pun harus mengumpulkan kotoran hewan agar bisa menjerangnya.
![]() |
sumber foto: http://agustinus.photo/28085/on-the-edge/ |
Hiks, bukan kah di sisi lain kita sering merasa sedih kalau di negeri ini masih ada kawasan yang jalanannya belum beraspal? Kampung-kampung yang masih suka dikepung banjir, kebakaran hutan dan peristiwa alam lainnya yang menyulut sumpah serapah mengapa pembangunan infastruktur belum merata? Ya jauh banget ya kalau mau bandingin dengan keindahan kota klasik macam Venesia di Italia misalnya.
Baik kita lanjutin lagi. Belum bosen bacanya, kan?
Mereka yang Berpengaruh
Jujur aja, di awal-awal baca buku, bagian paragraf pendek yang bercerita tentang mama-nya bikin aku merasa 'apaan sih', di mana nyambungnya sama cerita perjalanannya? Di paragraf lain, aku juga menemukan Lam Li, Backpacker asal Malaysia yang petuah ringannya begitu nampol. Bayangin aja Kak Rossnya Upin dan Upin lagi ngobrol santai sambil nasihatin gitu.
Semakin ke ujung cerita tulisan tentang Mama bukan cuma nyambung aja. Mama punya peran besar membentuk karakter Agustinus jadi seperti sekarang ini. Keikhlasannya melepas Agustinus yang pergi meninggalkan rumah untuk kuliah di Cina dan lanjut dengan perjalanan keliling dunianya itu, bagaimana kesabarannya menghadapi konflik dalam keluarga dan tegarnya menahan penyakit kanker bisa bikin meleleh.
Peribahasa Kasih Ibu Sepanjang Jalan beneran ngena. Sejauh apapun ia pergi, kasih sayang Mamanya selalu hadir di mana saja dia berada,
![]() |
Lam Li, sang sahabat. Sumber : agustinus wibowo.com |
Semakin ke ujung cerita tulisan tentang Mama bukan cuma nyambung aja. Mama punya peran besar membentuk karakter Agustinus jadi seperti sekarang ini. Keikhlasannya melepas Agustinus yang pergi meninggalkan rumah untuk kuliah di Cina dan lanjut dengan perjalanan keliling dunianya itu, bagaimana kesabarannya menghadapi konflik dalam keluarga dan tegarnya menahan penyakit kanker bisa bikin meleleh.
Peribahasa Kasih Ibu Sepanjang Jalan beneran ngena. Sejauh apapun ia pergi, kasih sayang Mamanya selalu hadir di mana saja dia berada,
Bertahan Hidup
Misteri yang bikin aku kepo sampai saat ini adalah bagaimana Agustinus menyimpan uangnya selama berkeliling. Gimana caranya mengonversikan bekalnya dengan mata uang setempat. Apa dia bawa semua uang dolarnya terus nukerin di money changer sekitar? Kalau kehabisan mata uang lokal bayarnya gimana? Bayar langsung pake dolar? Hahaha.... kepo yang ga penting sih ini.
Buat orang yang suka lapar mata kayak aku kira-kira bakal kuat ga diajak traveling kayak gini? Bekal uang tunai yang ku bawa buat jalan-jalan ke Malaysia selama 4 hari kemarin mungkin bisa lebih lama awetnya kalau cara jalannya kayak beliau. Sanggup, ga? Entah lah, kayaknya sih enggak *tutup muka* Itu pun udah lumayan bikin meringis, sih. Akhirnya aku memilih untuk enggak 'nge-break down' habis buat apa saja dan berapa banyak secara detil.
Nah, walau bener-bener me-manage' bekalnya, Agustinus juga sempat kehabisan uang, dirampok, bahkan nyaris diitipu orang India. By the way, kenapa sih orang India identik dengan karakter tricky gini, ya? Waktu jalan-jalan di Malaysia, aku sempat diingatkan jangan pake taksi lokal yang sopirnya orang India.
Akhirnya waktu di sana emang sempat dapat drivel taksol yang dari foto dan namanya aja udah jelas Indianya. Cuma waktu itu mikir gini: "Kan pesen pake aplikasi Grab. Ya masa sih mau diperas gitu?" Tapi ga kesampaian ngalamin disopirin orang India karena dicancel sepihak huhuhu.... Yang beginian bukan cuma terjadi di Indonesia aja, lho. Ditolak driver aplikasi tanpa penjelasan. Gondok tapi ya bersyukur karena ga usah was-was.
O, ya di India ini Agustinus sempat sakit kuning dan ngalamin ribetnya nyari rumah sakit buat berobat. Administrasi yang ribet, mengingatkan resenya public service officer ala film-filmnya gitu lho. But anyway Agustinus juga bertemu seorang dokter yang jadi sahabat penanya. Selama sakit ini juga banyak insight yang didapatkan saat ngobrol sama pasien atau penduduk India lainnya.
Buat orang yang suka lapar mata kayak aku kira-kira bakal kuat ga diajak traveling kayak gini? Bekal uang tunai yang ku bawa buat jalan-jalan ke Malaysia selama 4 hari kemarin mungkin bisa lebih lama awetnya kalau cara jalannya kayak beliau. Sanggup, ga? Entah lah, kayaknya sih enggak *tutup muka* Itu pun udah lumayan bikin meringis, sih. Akhirnya aku memilih untuk enggak 'nge-break down' habis buat apa saja dan berapa banyak secara detil.
Nah, walau bener-bener me-manage' bekalnya, Agustinus juga sempat kehabisan uang, dirampok, bahkan nyaris diitipu orang India. By the way, kenapa sih orang India identik dengan karakter tricky gini, ya? Waktu jalan-jalan di Malaysia, aku sempat diingatkan jangan pake taksi lokal yang sopirnya orang India.
Akhirnya waktu di sana emang sempat dapat drivel taksol yang dari foto dan namanya aja udah jelas Indianya. Cuma waktu itu mikir gini: "Kan pesen pake aplikasi Grab. Ya masa sih mau diperas gitu?" Tapi ga kesampaian ngalamin disopirin orang India karena dicancel sepihak huhuhu.... Yang beginian bukan cuma terjadi di Indonesia aja, lho. Ditolak driver aplikasi tanpa penjelasan. Gondok tapi ya bersyukur karena ga usah was-was.
O, ya di India ini Agustinus sempat sakit kuning dan ngalamin ribetnya nyari rumah sakit buat berobat. Administrasi yang ribet, mengingatkan resenya public service officer ala film-filmnya gitu lho. But anyway Agustinus juga bertemu seorang dokter yang jadi sahabat penanya. Selama sakit ini juga banyak insight yang didapatkan saat ngobrol sama pasien atau penduduk India lainnya.
Belajar Toleransi dari Konflik
Bukan cuma soal kesejahteraan yang rumit atau krisis pangan yang membekap penduduk kasta terendah di India. Cerita-ceritanya waktu di Tibet, Nepal, Pakistan sampai Afghanistan membuka sudut pandang kita bagaimana memandang konflik. Keluarga Agustinus yang beretnis Cina pun sempat mengalami horornya tragedi Mei 1998 dan berpengaruh besar pada Mamanya. Nrimonya orang-orang India dengan nasibnya yang sudah 'dituliskan' begitu terus, jujurnya orang-orang Pakistan dan bagaimana keramahan orang Afghanistan yang sudah terbiasa dengan ledakan bom dalam kesehariannya juga bikin aku yakin aja, buku ini sayang banget kalau tidak dikhatamkan.
Ngomong-ngomong soal Taliban yang pernah jadi pemerintah di Afghanistan sana, apa ketika mereka turun terus semua lini kehidupan jadi berubah 180 derajat? Enggak ternyata. Begitu juga konflik lainnya yang masih meringkus kawasan Asia Tengah seperti India dan Pakistan. Awalnya yang ribut para petingginya, terus ngegusur rakyatnya. Tetep sih yang paling merana mah mereka yang ada di akar rumput.
Ngomong-ngomong soal Taliban yang pernah jadi pemerintah di Afghanistan sana, apa ketika mereka turun terus semua lini kehidupan jadi berubah 180 derajat? Enggak ternyata. Begitu juga konflik lainnya yang masih meringkus kawasan Asia Tengah seperti India dan Pakistan. Awalnya yang ribut para petingginya, terus ngegusur rakyatnya. Tetep sih yang paling merana mah mereka yang ada di akar rumput.
![]() |
sumber foto: http://agustinus.photo/28428/welcome-to-the-wakhan-corridor/ |
Agustinus juga bukan cuma diaungerahi kecerdasan bahasanya yang membuat dirinya lebih mudah cair bergaul. Keluwesannya bertoleransi perbedaan pandangan termasuk soal agama bikin salut. Mungkin itu juga yang membuatnya mudah diterima oleh banyak orang dengan berbagai latar negara, etnis sampai agama. Agustinus seperti menemukan rumahnya di mana saja sebelum kembali ke rumah sebetulnya di tanah air.
Ngomong-ngomong soal konflik, Agustinus punya kamera yang punya nilai paling penting. Bukan cuma cuplikan foto-foto kerennya saja yang terselip di halaman-halaman bukunya. Sempat dirampas, kameranya ini jadi pendamping Agustinus untuk bertahan di Afghanistan dan jadi jalan 'hidayah' untuk kembali ke tanah air, berkumpul lagi dengan keluarga dan menuntaskan kerinduannya.
Nah, lho. Aku sudah punya kamera juga, sih. Ya masih level entry gitu dan belum banyak dieksplor. Kalau mau bandingin hasil, masih kalah jauh lah sama jepretannya Agustinus ini, terutama cerita dibalik foto-fotonya.
Jadi bener ya ungkapan yang bilang gini" A picture can speak a thousand words."
By the way, aku sudah pernah baca A Thousands Splendid Suns yang ditulis Khaleed Hassan Hosseini dan sukses dibuat mewek. Segitu perih dan apesnya nasib Laila, perempuan di Afghanistan sana yang jadi tokoh utama novelnya. Bersyukurlah kita yang tinggal di Indonesia. Yang bisa eksis dan mengepresikan diri. Bete dan kesel dengan war-waran di medsos? Ga ada apa-apanya dengan 'kesialan' berubi-tubi yang dialami Laila. Lari dari mulut macan, masuk mulut buaya. Gitu terus dari kecil sampai tua. Gambaran hidupnya Laila yang pernah aku baca seperti putaran slide yang muncul lagi waktu baca perjalanan Agustinus yang udah sampai di Afghanistan sini.
Foto-fotonya yang ada di Titik Nol ini emang ga sebanyak lembaran narasi perjalanan yang sarat dengan renungan-renungan, tapi bisa merangkum rangkaian kata-kata yang sudah dituliskannya di setebal 552 halaman itu.
"Perjalanan itu bukan untuk bicara benar dan salah, bukan untuk mengubah dunia. Perjalanan adalah belajar untuk melihat berbagai sudut pandang, memahami sudut pandang dengan menjadikan mereka - orang-orang biasa dalam kehidupan biasa - sebagai tokoh utama kisah" - Halaman 439
Kalau mau tau kenapa bukunya dikasih judul Titik Nol, Guys, kalian harus baca sampai tamat dan hanyut dalam setiap lembarannya. Buku ini bukan cuma tentang serunya berkeliling dunia menemukan keunikan yang tidak kita temukan di sini. Ada vitamin hati yang membuat kita mikir buat apa menyimpan sifat takabur atau jumawa? Jadi bener juga ungkapan yang bilang, Semakin jauh seseorang berjalan akan membuatnya semakin rendah hati.
Jadi, ngeri ga, buat lanjut baca Selimut Debu atau Garis Batas, dua buku lainnya dari Agustinus? Hmmm, ngeri-ngeri sedap dengan ketebalannya, tapi kalau sudah tau ending yang didapat kayak gini kenapa enggak?
Aku udah khatam. Kalian yang masih tertunda ayo beresin. Belum baca? Ayo cari bukunya!