Review Film Hotel Mumbai: Terjebak dalam Teror

Mari kita ngomongin lagi tentang film berlatar India.
Biasanya film berbau India ga jauh-jauh dari cerita yang dibumbui nangis, nyanyi dan joged  di tengah lapang, pohon, hujan atau situasi apapun yang memungkin.

Beberapa waktu lalu aku pernah nonton film Padmaavat.  Film yang menceritakan seorang tokoh ratu yang mempertahankan kehormatannya ini juga ada nuansa perangnya.  Ada beberapa adegan di mana setiap dua sisi yang berseteru mau duel disisipi adegan nyanyi atau joged. Ya memang gitu, film India.  Ibarat makan seblak yang ga pedes rasanya hambar nonton film India tanpa bumbu-bumbu seperti itu. Betul?

Cerita tentang filmnya itu sendiri bisa baca di sini Review Film Padmaavat

Gimana kalau ada film India yang ga pake bumbu nyanyi dan joged-joged? Kehilangan gregetnya, ga?

Kalau gitu, kalian harus nonton film Hotel Mumbai yang sekarang ini masih wara-wiri di bioskop. Ga tau sampai kapan dia akan bertahan.  Tapi kalau lihat antrian film yang  akan tayang pertengahan pekan ini sepertinya dia harus rela hiatus.  Makanya aku sarankan untuk segera nonton film ini sebelum benar-benar tereliminasi.  Tapinya lagi sebelum nonton, yuk baca ulasanku tentang film ini.

Di bawah  besutan sutradara  Anthony Maras, sebenarnya film ini bukan produksi Bollywood.  Lebih tepatnya lagi produksi Aussie yang melibatkan para aktor-aktor India. Dev Patel  yang jadi sosok hero Arjun di film ini juga konon ikut membantu penulisan skenarionya.

Didasari dari kisah nyata pada tahun 2008 saat terjadi serangan teroris di Hotel  Taj -yang dilakukan oleh 4 orang pemuda berdarah Pakistan.  Sebenarnya  mereka cuma sebagian dari 9 orang pemuda yang memencarkan diri dari teman-temannya yang turun dari sekoci. Iya sekoci. Mereka ujug-ujug aja ada di sana. Kalau mau tau kronologis jelasnya bisa lihat di video dokumenter yang ada di youtube.

Kembali ke cerita, ya. Bersama beberapa rekan lainnya, mereka berpencar berbagi tugas  melakukan 'misi suci' untuk membantai orang lain yang dianggap kafir.  Ada yang memburu target di stasiun, kafe (kalau versi dokumenter mereka itu sampai masuk rumah sakit segala) dan hotel sebagai target utama. Berondongan senapan mesin menghabisi korban yang ditemui tanpa ampun. Tanpa alasan yang jelas kenapa mereka harus meregang nyawa.

Selain para pemuda teroris tadi, aegan pembuka film Hotel Mumbai juga menampilkan seorang pria Sikh tengah bersiap-siap pergi menuju tempat kerjanya, ya di Hotel Mumbai ini.  Sambil menenangkan anaknya yang rewel ia terburu-buru pergi dan menyadari sepatunya tercecer. Nah sepatunya yang jatuh ini nyaris mengacaukan segalanya.

Hotel Mumbai bukan sembarang hotel.  Selain arsitektur gedungnya yang sudah mengaurkan aura kemegahan dan kemewahannya,  majamenen hotel sangat-sangat mementingkan kenyamanan tamunya. Makanya slogan Tamu adalah Dewa dipegang teguh sekali oleh mereka.  Semisal suhu air yang suhunya harus benar-benar pas, dan bagaimana mereka sangat mencatat detail selera dan kebiasaan hotel, diceritakan di sini. Makanya, saat Arjun disuruh pulang oleh Chef Oberoi yang diperankan oleh Anupam  Kher, ia kalang kabut.   Arjun merajuk agar diijinkan tetap bekerja karena sangat butuh uang untuk anak-anak dan istrinya.  Singkat cerita Arjun akhirnya ga jadi pulang setelah mengenakan sepatu pinjaman agar tetap bisa on duty.  

Di antara 1000an tamu hotel yang  mayoritas bule (dan dicap kafir oleh para teroris) ada dua tamu penting yang juga punya peran utama.  Zahra (Nazanin Boniadi) datang ke sana bersama suaminya, David (Armie Hammer), anak laki-lakinya yang masih  balita bernama Cameron  dan seorang nanny yang ngasuh Cameron bernama Sally (Tilda Cobham Hervey)  Selain keluarga Sally ada satu lagi tamu mantan intelijen Rusia bernama Vasili yang diperankan oleh Jasoon Isaac.

Seperti tamu lainnya, rencana keluarganya Zahra dan pesta asik-asiknya Vasili jadi berantakan ketika  4 teroris yang masih remaja, masing-masing Imran, Housam, Abdullah dan Rashid tiba-tiba masuk dan membunuh semua yang ditemuinya tanpa ampun. Walaupun kelakukan mereka tampak udik, dan tidak bisa berbahasa Inggris (cuma bahasa Hindi atau Urdu), tapi  mereka sangat terlatih di medan perang.  Cuma 4 orang saja tapi bikin panik semua tamu yang ada di dalam juga khalayak luar yang mengikuti perkembangan berita lewat laporan berita yang disampaikan oleh reporter tv  dan media cetak.  

Masih ingat karakter Inspektur Vijay yang dicgambarkan lelet dan selalu datang terlambat dalam film-film India, kan? nah, situasi seperti itu kurang lebih terjadi lagi. Namun di sini bukan akrena respon polisinya yang lelet. Jarak New Delhi dan Mumbai yang cukup jauh, jadi ga memungkinkan untuk mengirimkan pasukan khusus segera ke TKP.

India bukan saja perkara negri yang populasinya sangat banyak tapi juga wilayahnya yang luas. Perjalanan sepanjang 1401 KM bakal membutuhkan waktu tempuh darat selama 22 jam. Lebih dari cukup untuk memperpanjang drama penantian yang bikin sesak nafas.  Bikin deg-degan korban yang terjebak atau keluarga yang menanti kabar. Apakah kerabatnya selamat atau mati meregang nyawa.


Film Hotel Mumbai ini juga bukan cuma bercerita perang tembak-tembakan antara polisi dengan teroris atau drama mewek-meweknya korban yang ketakutan dihantui 'malaikat pencabut nyawa' tapi juga bagaimana profesionalismenya para staf hotel untuk melakukan evakuasi para korban agar mereka bisa lolos dari kejaran para teroris. Arjun yang sebelumnya dianggap remeh oleh Oberoi benar-benar membayar tuntas kepercayaan yang diberikan.  Ia sudah lupa  apakah ia bisa kembali menemui anak dan istrinya di rumah. Yang ada adalah bagaimana ia bias menyelamatkan tamunya sebanyak mungkin seperti slogan yang dianut manajemen hotel. Tamu adalah Dewa.

Antara gemes, sedih dan ngenes menyaksikan reaksi para tamu di hotel ini. Ada yang egois hanya ingin dirinya selamat, ada yang bertindak bodoh, ketakutan tapi juga bereaksi di luar dugaan. Jauh beda dan bayangan yang kira-kira akan dilakukan kalau kita meliaht gesturenya. Pelajaran penting buat kita kalau berhati-hati sama orang asing itu perlu tapi juga harus tetap menjaga akal sehat. Kadang yang tampak mengerikan dan menyebalkan malah dia yang jadi penolong. Ya tapi yang namanya curiga atau was-was malah membuat kita alarm kita berbunyi kencang dan mengabaikan itu. Ya, kan?


Ceritanya, para teroris ini menciptakan ketakutan sepanjang 60 jam. Entah berapa banyak amunisi yang sudah dijejalkan ke dalam ransel mereka dan entah bagaimana juga mereka yang selalu meyebut nama Tuhan dalam setiap komunikasi dengan pengendalinya via HP bisa meluangkan waktunya untuk salat.  

Jadi bener ga sih mereka itu menciptakan teror betul-betul hanya untuk mengharap surganya? Dikipasin terus-terusan oleh entah siapa yang terus berkomunikasi dengan mereka,  sebenarnya mereka mulai lelah dan goyah pertahanannya.  Sebel rasanya waktu ada momen ketika keluarga yang terus meyemangati terus berjuang.  Ortu macam apa yang nyuruh anaknya  bertindak konyol kalau akhirnya buah dari kenekatan mereka itu untuk dinikmati oleh mereka?

Lagu sendu atau pilu yang dinyanyikan salah satu mereka tidak mengesankan keharuan surga yang akan menyambut mereka. Yang ada aku merasakan kegalauan. Mau  mundur tidak bisa, mau mau mereka seakan-akan 'dijorokin'. Dilematis.  Puncak kegalauan yang dirasakan adalah ketika mereka melihat salah satu sandera melafalkan bacaan kalimat tauhid.  Bunuh tidak, bunuh tidak.... Salah satu dari mereka cuma bisa nangis, tidak tahu harus berbuat apa.

Kalau dalam versi dokumentasi,  cerita keluarga yang datang bersama nanny memang ada dalam versi nyatanya. Hanya saja dalam film ini latar dan situasinya diubah sedikit oleh sang sutradara. Anthony Maras seakan ingin memberitahukan, terorisme bisa mengancam siapa saja tanpa pandang bulu, bahkan muslim pun bisa ikut terancam.

Teror 60 jam memang kemudian berakhir.  Siapa yang jadi dalang dibalik teror ini bukan hal penting untuk dijelaskan filmnya. Hotel Mumbai bertutur dengan apik selama 2 jam bagaimana konflik ini berawal dan berakhir.  Kebencian hanya akan membakar akal sehat dan menghanguskan naluri kemanusiaan. 

Di sisi lain masih banyak orang yang tulus menolong tanpa syarat - tanpa memilih siapa duluan yang akan ditolong - meski sebenarnya ia sendiri tidak tahu nasib apa yang sedang menantinya diujung kengerian yang mencekam selama hampir 3 hari.  Lapar atau ngantuk jadi hilang berganti dengan emosi yang berubah-ubah Ada yang tetap terjaga, tapi tidak sedikit juga jadi kalap, bertindak tidak seharusnya.

Kalau saja para pelaku teroris ini bisa berpikir lebih jauh, tidak mudah di'brainwash' mungkin  mereka tidak akan bertindak senekat itu meskipun apa yang mereka lakukan sebenarnya lebih karena didasari motif lain yang menyebabkan mereka terpaksa melakukannya. Bukan karena panggilan suci. Dalam etika perang pun tidak boleh membunuh lawan yang tidak bersenjata, anak-anak, wanita dan orangtua, kan?



Post a Comment

0 Comments